Orang Kaya Itu Tidak Ada
(muat ulang dari blog yang harusnya cuma buat senang-senang dan iseng-iseng ini. setelah dipikir-pikir, sepertinya lebih cocok masuk ke sini hehehe...)
Bagi saya, orang kaya itu tidak ada. Kesimpulan ini saya ambil setelah dua orang teman lama saya meminjam uang yang kurang lebih jumlahnya sama. Keduanya terpaksa saya tolak. Bukan karena tidak ada tabungan yang bisa dipinjamkan, tapi lebih karena masalah kepercayaan. Saya tidak bisa percaya mereka akan mengembalikan karena keduanya tidak pernah mengontak saya berbulan-bulan. Sekali-kalinya ada komunikasi, ya mereka ingin pinjam uang.
Oke, itu belum menjelaskan kenapa saya mengambil kesimpulan kalau tidak ada orang kaya. Jadi begini, dua orang teman itu yang satu profesinya ibu rumah tangga satu anak yang kadang menjual masakannya dan tiap hari membantu operasional sebuah rumah ibadah. Suaminya bekerja di bengkel dan baru-baru ini kehilangan pekerjaan. Saya tidak tahu apakah kemudian suaminya sudah bekerja lagi atau belum.
Satu teman lagi bekerja sebagai pengajar perguruan tinggi swasta. Dia juga menjadi direktur sebuah perusahaan kecil milik ayahnya. Suaminya seorang manajer sebuah perusahaan yang juga tidak terlalu besar. Mereka belum punya anak.
Dua orang dengan latar belakang berbeda dan kesulitan keuangan yang hampir sama dilihat dari kebutuhan uang yang ingin mereka pinjam.
Teman pertama itu hidupnya tergolong pas-pasan dan tidak bisa dikatakan kaya. Namun, dia berhasil menyekolahkan anaknya di taman kanak-kanak swasta yang terkenal mahal. Bukan demi gengsi, tapi demi kualitas pendidikan, dia dan suaminya rela berjuang. Jadi mereka juga tidak bisa dikatakan miskin.
Teman kedua hidupnya selalu berkecukupan. Rumahnya besar. Ke mana-mana selalu mengendarai mobil pribadi dengan plat nomor pesanan mudah diingat. Namun, bukan sekali ini dia ingin meminjam uang pada saya. Sudah berkali-kali dan sepertinya tidak pernah saya iyakan. Karena saya tidak habis pikir, ke mana semua uang yang dimilikinya? Dan, kalaupun saya pinjamkan, apakah dia tidak malu saat membaca kata “iya” di telepon genggamnya yang biasanya selalu keluaran terbaru itu? Dia miskin atau kaya sih?
Jadi begitulan, saya tidak percaya orang kaya itu ada. Yang ada hanya orang yang bisa mengatur pengeluaran dan pemasukan mereka agar tetap seimbang; agar tidak menyusahkan orang lain; agar stres tidak datang setiap akhir bulan.
Itulah mengapa saya sering sebal, untuk tidak mengatakan tersinggung, kalau ada yang menilai saya banyak uang karena gaji saya besar. Besar itu relatif. Kalau dibandingkan teman saya yang kedua, gaji saya tidak seberapa. Kalau dibandingkan teman pertama memang jauh lebih besar.
Saya tidak kaya karena sebelum menikah saya masih sering kekurangan uang dan terpaksa meminta tambahan dari orangtua. Gaji saya hampir selalu habis sebelum akhir bulan. Motor, kamera, laptop, dulu itu juga mereka yang membelikan. Kedengarannya orangtua saya kaya ya? Coba sekali-kali main ke rumah mereka. Kalau melihat lantai semen tanpa keramik, kursi kayu, halaman tanah tanpa rumput, apalagi taman… pasti kata kaya tidak akan terlintas di benak Anda saat melihat rumah mereka. Mereka tidak kaya, tapi selalu punya cukup uang kalau ketiga anak mereka membutuhkan.
Sekarang keuangan saya jauh lebih baik. Saya punya tabungan, meskipun tidak banyak. Saya juga sudah melakukan investasi kecil-kecilan. Setiap akhir bulan, baru belakangan ini, saya sudah tidak stres melihat saldo tabungan. Baru belakangan ini ya… sebelumnya sih masih stres. Ya kadang harus pinjam atau mencicil sesuatu, tapi tidak dalam jumlah besar dan bukan untuk kondisi darurat.
Selain tuduhan kalau saya kaya dan banyak uang, ada satu lagi tuduhan yang akan membuat saya marah: boros. Saya paling sebal dituduh boros. Apalagi yang menuduh tahu benar kalau saya masih menabung sedikit-sedikit, kalau saya sudah sangat mengurangi beli baju, pakaian dalam, sepatu, tas, dsb.
Saya itu bekerja, saya punya penghasilan sendiri, saya punya pemasukan, dan saya sudah bisa mengontrol pengeluaran agar tetap seimbang. Mau marah kan, kalau sudah berusaha mati-matian buat mengatur uang tapi tetap dibilang boros.
Saya tidak kaya, tapi saya juga tidak mau hidup seperti orang miskin. Hidup yang cukup saja boleh kan? Toh saya bekerja keras untuk membuat pendapatan saya cukup. Kalau kurang, ya pemasukan ditingkatkan dong… Tidak harus selalu pengeluaran yang direm kan? Saya masih punya banyak kemampuan kok untuk mencari celah agar pemasukan bertambah. Boleh dong?
Jangan anggap saya kaya, tapi jangan menyuruh saya jadi orang miskin juga. Kaya dan miskin itu tidak ada, bagi saya.
Bagi saya, orang kaya itu tidak ada. Kesimpulan ini saya ambil setelah dua orang teman lama saya meminjam uang yang kurang lebih jumlahnya sama. Keduanya terpaksa saya tolak. Bukan karena tidak ada tabungan yang bisa dipinjamkan, tapi lebih karena masalah kepercayaan. Saya tidak bisa percaya mereka akan mengembalikan karena keduanya tidak pernah mengontak saya berbulan-bulan. Sekali-kalinya ada komunikasi, ya mereka ingin pinjam uang.
Oke, itu belum menjelaskan kenapa saya mengambil kesimpulan kalau tidak ada orang kaya. Jadi begini, dua orang teman itu yang satu profesinya ibu rumah tangga satu anak yang kadang menjual masakannya dan tiap hari membantu operasional sebuah rumah ibadah. Suaminya bekerja di bengkel dan baru-baru ini kehilangan pekerjaan. Saya tidak tahu apakah kemudian suaminya sudah bekerja lagi atau belum.
Satu teman lagi bekerja sebagai pengajar perguruan tinggi swasta. Dia juga menjadi direktur sebuah perusahaan kecil milik ayahnya. Suaminya seorang manajer sebuah perusahaan yang juga tidak terlalu besar. Mereka belum punya anak.
Dua orang dengan latar belakang berbeda dan kesulitan keuangan yang hampir sama dilihat dari kebutuhan uang yang ingin mereka pinjam.
Teman pertama itu hidupnya tergolong pas-pasan dan tidak bisa dikatakan kaya. Namun, dia berhasil menyekolahkan anaknya di taman kanak-kanak swasta yang terkenal mahal. Bukan demi gengsi, tapi demi kualitas pendidikan, dia dan suaminya rela berjuang. Jadi mereka juga tidak bisa dikatakan miskin.
Teman kedua hidupnya selalu berkecukupan. Rumahnya besar. Ke mana-mana selalu mengendarai mobil pribadi dengan plat nomor pesanan mudah diingat. Namun, bukan sekali ini dia ingin meminjam uang pada saya. Sudah berkali-kali dan sepertinya tidak pernah saya iyakan. Karena saya tidak habis pikir, ke mana semua uang yang dimilikinya? Dan, kalaupun saya pinjamkan, apakah dia tidak malu saat membaca kata “iya” di telepon genggamnya yang biasanya selalu keluaran terbaru itu? Dia miskin atau kaya sih?
Jadi begitulan, saya tidak percaya orang kaya itu ada. Yang ada hanya orang yang bisa mengatur pengeluaran dan pemasukan mereka agar tetap seimbang; agar tidak menyusahkan orang lain; agar stres tidak datang setiap akhir bulan.
Itulah mengapa saya sering sebal, untuk tidak mengatakan tersinggung, kalau ada yang menilai saya banyak uang karena gaji saya besar. Besar itu relatif. Kalau dibandingkan teman saya yang kedua, gaji saya tidak seberapa. Kalau dibandingkan teman pertama memang jauh lebih besar.
Saya tidak kaya karena sebelum menikah saya masih sering kekurangan uang dan terpaksa meminta tambahan dari orangtua. Gaji saya hampir selalu habis sebelum akhir bulan. Motor, kamera, laptop, dulu itu juga mereka yang membelikan. Kedengarannya orangtua saya kaya ya? Coba sekali-kali main ke rumah mereka. Kalau melihat lantai semen tanpa keramik, kursi kayu, halaman tanah tanpa rumput, apalagi taman… pasti kata kaya tidak akan terlintas di benak Anda saat melihat rumah mereka. Mereka tidak kaya, tapi selalu punya cukup uang kalau ketiga anak mereka membutuhkan.
Sekarang keuangan saya jauh lebih baik. Saya punya tabungan, meskipun tidak banyak. Saya juga sudah melakukan investasi kecil-kecilan. Setiap akhir bulan, baru belakangan ini, saya sudah tidak stres melihat saldo tabungan. Baru belakangan ini ya… sebelumnya sih masih stres. Ya kadang harus pinjam atau mencicil sesuatu, tapi tidak dalam jumlah besar dan bukan untuk kondisi darurat.
Selain tuduhan kalau saya kaya dan banyak uang, ada satu lagi tuduhan yang akan membuat saya marah: boros. Saya paling sebal dituduh boros. Apalagi yang menuduh tahu benar kalau saya masih menabung sedikit-sedikit, kalau saya sudah sangat mengurangi beli baju, pakaian dalam, sepatu, tas, dsb.
Saya itu bekerja, saya punya penghasilan sendiri, saya punya pemasukan, dan saya sudah bisa mengontrol pengeluaran agar tetap seimbang. Mau marah kan, kalau sudah berusaha mati-matian buat mengatur uang tapi tetap dibilang boros.
Saya tidak kaya, tapi saya juga tidak mau hidup seperti orang miskin. Hidup yang cukup saja boleh kan? Toh saya bekerja keras untuk membuat pendapatan saya cukup. Kalau kurang, ya pemasukan ditingkatkan dong… Tidak harus selalu pengeluaran yang direm kan? Saya masih punya banyak kemampuan kok untuk mencari celah agar pemasukan bertambah. Boleh dong?
Jangan anggap saya kaya, tapi jangan menyuruh saya jadi orang miskin juga. Kaya dan miskin itu tidak ada, bagi saya.
Komentar
Posting Komentar