Kritik Atas Sosok Ibu dalam Puisi-puisi Cyntha Hariadi




Judul : Ibu Mendulang Anak Berlari
Pengarang : Cyntha Hariadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, April 2016
Penyelia Naskah : Mirna Yulistianti


Barangkali tak ada yang lebih alami dalam kodrat manusia
daripada arus energi di antara dua tubuh biologis serupa:
yang satu meringkuk damai di dalam tubuh lain
yang kemudian akan mengerahkan seluruh tenaga
untuk mendorong keluar yang satunya.
Darinya tumbuh akar kisah-kisah tentang
ketergantungan antar manusia yang paling dalam
dan keterasingan yang paling kelam.

Of Woman Born karya Adrienne Rich (1929-2012)



Kutipan di atas membuka buku kumpulan puisi Ibu Mendulang Anak Berlari karya Cyntha Hariadi yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, April 2016. Adrienne Rich perupakan penyair asal Amerika. Ia juga seorang feminis. Meninggal pada usia 83 tahun, Adrienne memiliki tiga orang anak laki-laki.

Puisi-puisi yang ditulis oleh Cyntha memiliki nafas yang sama seperti kutipan pembuka bukunya. Ia menggambarkan relasi ibu dan anak. Diawali dengan proses "Kelahiran" sebagai puisi kedua. Lalu dilanjutkan dengan puisi "Cium Kepalanya!" yang menggambarkan pertemuan pertama ibu dan anak. Dalam dua proses ini hubungan keduanya digambarkan begitu asing dengan bibit-bibit ketergantungan yang mulai menunas.


"Cium Kepalanya!" 

Pertama kali aku melihatmu
matamu singgah singkat, "Oh dia."

Tak tertarik, kau mencari ibumu
di atap dinding dan ke setiap sudut ruang,
mulutmu mengerucut mencecap mencari puting
tanganmu dihimpit, kakimu terbungkus,
kepalamu berputar-putar di atas leher yang padat.
Di lenganku kau terbaring,
aku tak mampu mengrengkuhmu dekat. 

Itu pertemuan pertama kita
walaupun telah sembilan bulan bersama
tak pernah saling bertatap muka.
Kemudian ada perintah, "Cium kepalanya!"
kutundukkan kepala dan kuhirup
bau kehidupan di dahimu, tipis, lembut dan asam
kawah di tengah kepalamu mendidih, berbuih, perkasa
siap menghibur kala aku merunduk.
Bibir kering
lahap aku mencium. 

Namun matamu masih merambah,
kapan kau akan melihatku?
Handuk hijau yang membungkusmu,
lebih hangatkah daripada tubuhku? 

Dokter masih menjahit
darah membercak di kacamatanya
Aku ingin tidur.


Terasa benar kalau puisi di atas menggambarkan proses kelahiran dari sisi ibu. Subyek yang langsung merasakan bagaimana emosi dan rasa berkecamuk dalam proses tersebut. Bagaimana ibu akan merasa asing karena, "Itu pertemuan pertama kita walaupun telah sembilan bulan bersama." Bahwa keasingan itu akan membuat mencium anak bukan sebagai tindakan spontan. Harus ada yang memerintahkan, meskipun kemudian ibu akan lahap memberikan ciuman.

Saat membaca puisi ini terbayang perintah untuk mencium itu datang karena proses melahirkan tersebut diabadikan dengan kamera. Saat momen ibu mencium kepala anak untuk pertama kali tampil dalam bentuk foto, siapa yang membayangkan kalau di balik senyum penuh syukur si ibu, ada "sutradara" yang menyuruh mencium? Tidakkah kita selalu menduga kalau momen itu proses spontan yang menggambarkan besarnya cinta ibu anaknya yang barus saja ia lahirkan ke dunia?

Tidak ada glorifikasi pengorbanan dan perjuangan di sana, proses melahirkan dan emosi yang hadir pada diri ibu (dan juga anak) tampil apa adanya. Tanpa banyak menggunakan kata sifat, Cyntha menunjukkan perjuangan dan pengorbanan itu dengan dua kalimat sederhana, "Dokter masih menjahit, darah membercak di kacamatanya. Aku ingin tidur."




Ibu Bukan Manusia Super

Cara Cyntha menggambarkan relasi ibu dan anak tampak sebagai upaya untuk mematahkan kebiasaan masyarakat kita yang membebankan perempuan untuk menjadi sosok manusia super saat berperan sebagai orangtua. Ibu digambarkan sebagai sosok sempurna yang bisa melakukan semuanya. Kebiasaan ini makin menjauhkan peran ayah dalam keluarga dan menambah beban ganda pada pundak perempuan.

Bila kita tengok pada puisi "Mandi", "Susu", dan "Beres-beres", tampak Cyntha menampilkan sosok ibu yang tidak sempurna, ada kecerobohan, rasa bersalah yang berlebihan, kekacauan, dan bagaimana semua itu menjadi wajar. Relasi ibu dan anak tampak seperti proses, satu sama lain saling membentuk, saling mengingatkan, saling membutuhkan. Ibu tidak hanya terus memberi, dan anak tidak selalu meminta.


Mandi 

Kutanggalkan satu-satu
bawahan, atasan, beha, celana dalam 


tarik tirai bak mandi
masuk pelan-pelan seperti sedang memakai sepatu kaca 


putar keran sepenuh hati
tutup mata tak ingin membukanya lagi 


aku terbilas
bersih
kupuji tuhan 


Di balik tirai, di atas tumpukan bajuku
duduk seorang dara menangisi nasibnya 


bagai sungai deras air mata dan ingusnya
mengalir masuk ke mulut mencari ibu, ibu, ibu
tak berhenti sampai tersedak mukanya biru 


setengah tertebus
aku terjaga 


seberapa pun guruhnya air keran menelan ibu, ibu, ibu
laranya yang sayup sungguh menegur kalbu
kotor lagi kecil menjadi 


aku dosa karena mandi.



Mandi, kegiatan sederhana, rutinitas harian yang akan terasa istimewa saat seorang perempuan baru saja melahirkan anaknya. Di bulan-bulan pertama mengasuh anak, waktu berjalan sangat cepat, siang malam pun bertukar peran tidak karuan. Tidak terbayangkan sebelumnya bagaimana mahluk sekecil bayi manusia bisa menyita waktu sebegitu besarnya. Seperti yang ditulis Cyntha dalam puisinya, mandi pun terasa sebagai dosa karena anak harus ditinggalkan di atas tumpukan baju, menangis-nangis mencari ibu, hingga tersedak dan mukanya biru.

Ada penyesalan dalam pilihan kata dosa. Namun, terasa pula ketidakberterimaan si ibu, mengapa mandi yang begitu sederhana mendatangkan rasa bersalah sebegitu hebatnya? Hal-hal semacam ini baru bisa tertangkap saat penulisan tentang sosok ibu dilakukan oleh penulis yang memiliki pengalaman sebagai ibu. Tidak cukup sampai di situ, ia juga harus mampu menuliskannya dengan jujur, dalam proses reflektif yang dalam.

Penyesalan serupa digambarkan dalam puisi "Susu" yang lebih singkat. Sementara itu, dalam puisi "Beres-beres" yang mengutamakan unsur spasial, Cyntha menggambarkan suasana rumah yang kacau dan bagaimana kekacauan itu baru bisa diselesaikan saat si anak sedang tidur. Inilah gambaran bagaimana kehidupan dalam sebuah keluarga yang sering dan wajar sekali terjadi, tapi kerap luput dalam penggambaran yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan bila menempatkan ibu sebagai obyek.




Tidak Ada Surga di Telapak Kaki Ibu

Kritik Cyntha terhadap glorifikasi sosok ibu yang biasanya tampil sebagai obyek, terus ditemukan dalam buku Ibu Mendulang Anak Berlari ini. Puisi yang disusun berdasarkan kronologis kelahiran, kehidupan, dan kematian, ini ditutup dengan dua puisi yang menarik. Dari 62 puisi, pada puisi ke-60 dan 61 yang berjudul "Surga" dan "Kematian," kita bisa menangkap kritik Chynta pada kecenderungan masyarakat memposisikan perempuan yang memiliki anak.


Surga 

Anakku perempuan
dengarlah Ibu

tidak ada surga di telapak kakiku
juga di telapak kakimu

surga tidak hidup di telapak kaki siapa pun
apalagi manusia

kularang kau
mencium kaki siapa pun

jangan pernah menyembahku
apalagi bersujud mencium kakiku

tapi ulurkan tanganmu
genggamlah tanganku

walaupun mataku buram
dan kakiku karam

di genggamanmu
aku tahu yang kau simpan dan tak pernah ungkap
selama menjadi anak.



Dalam puisi "Surga," tampak Cyntha ingin menyampaikan, bahwa pengkultusan sosok ibu, membuat relasi ibu dan anak menjadi tidak seimbang, berjarak. Padahal, hanya dengan bergandengan, si ibu baru bisa merasakan hal-hal yang tak tersampaikan sang anak.

Benar, glorifikasi terhadap sosok ibu juga terus berlangsung hingga di tahapan kematian. Digambarkan bahwa surga ada di telapak kaki ibu. Perempuan yang memiliki anak, ditempatkan di posisi agung dan harus disembah, karena surga ada di telapak kakinya. Kritik Chynta seolah ingin menggelitik para perempuan dengan mengajukan pertanyaan: Nyamankah perempuan berada dalam posisi mulia ini? Jangan-jangan kita malah tidak dapat bergerak. Karena semakin suci, semakin banyak batasan yang melekat pada tubuh ini bukan?

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Joko Pinurbo dan Makna Rumah dalam Personifikasi Kulkas, Ranjang dan Celana

Rahim dan Kepahitan Perempuan dalam Patiwangi Karya Oka Rusmini

Puisi-puisi Norman Erikson Pasaribu dan Pentingnya Keragaman dalam Sastra Indonesia