Joko Pinurbo dan Makna Rumah dalam Personifikasi Kulkas, Ranjang dan Celana



Judul : Pacar Senja: Seratus Puisi Pilihan
Pengarang : Joko Pinurbo
Penerbit : Grasindo
Cetakan : Pertama, 2005
Penyunting : Pamusuk Eneste
Kata Penutup : Ayu Utami


Bila kita membaca Pacar Senja karya Joko Pinurbo, seperti membaca narasi panjang tentang rumah dari kacamata penyair yang biasa disapa Jokpin ini. Sajak yang terkumpul dalam antologi ini memiliki rentang penciptaan yang panjang dari tahun 1980 hingga 2004. Paling banyak puisi bertahun 1996, 2001, dan 2003, masing-masing 14 puisi. Selain itu ada 13 puisi bertahun 1999, 10 puisi di 2002, dan sembilan puisi di tahun 2000. Tahun 1997 ada tiga puisi, tahun 1990 dan 1995 ada dua puisi. Jokpin memasukan masing-masing satu puisi yang bertahun 1980, 1989, 1991, 1994, dan satu puisi bertahun 2002/2003.

Total ada 100 puisi dalam buku ini. Kecuali puisi "Layang-layang" (1980) dan "Pohon Bungur" (1990) yang belum pernah dipublikasikan, 98 karya lain pernah dipublikasikan dalam antologi Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003), dan Kekasihku (2004).

Seratus puisi itu dibagi menjadi tujuh bab, judul bab mengambil dari salah satu judul puisi yang ada di dalamnya: "Celana Ibu", "Bercukur Sebelum Tidur", "Mandi", "Ranjang Ibu", "Panggilan Pulang", "Baju Bulan", dan "Kepada Puisi". Tujuh puisi tersebut tentunya dipilih bukan dengan acak dan tanpa maksud. Jokpin, begitu biasa penyair kelahiran Sukabumi ini disapa, menyebutkan dalam pengantar di awal buku, pengelompokan itu berdasarkan kedekatan tertentu yang belum tentu tema.

Pembagian tersebut tidak melihat tahun. Namun, menarik melihat bagaimana puisi-puisi tersebut menampakkan pengulangan dalam penggunaan personifikasi. Misalnya personifikasi ranjang dan celana yang berulang bukan hanya di tahun yang sama, tapi terus ditemukan di tahun-tahun lainnya.

Pakar sastra dari Jerman Profesor Rainer Carle, pernah mengomentari karya-karya Jokpin sebagai berikut, "Untuk mengerti pesan Joko dalam puisinya perlu diketahui sebanyak mungkin sajaknya dahulu, sebab ide-ide pokoknya tersebar di antara suatu kompleks tema yang luas diciptakan sebagai realita dalam puisi." Komentar ini disampaikan Dami N. Toda dalam tulisan di Kompas, Minggu, 3 Februari 2002 berjudul "Dua Penyair Indonesia di Hamburg: Catatan Baca Puisi Dorothea dan Joko Pinurbo".




Personifikasi 

Apa yang disampaikan Carle dapat membantu pemahaman puisi-puisi Jokpin. Saat membaca pengulangan kata-kata celana, ranjang, kulkas, kuburan, dalam beberapa puisinya, kita seperti dibawa ke dalam pemahaman baru akan apa yang direpresentasikan lewat personifikasi, atau dengan ungkapan yang lebih tepat dari Sapardi, memanusiawikan benda-benda itu. "Kekuatan puisi Joko bersumber pada ironi yang ditata terutama dengan personifikasi, yang menyebabkan semua benda --tak terkecuali yang abstrak-- menjadi manusiawi," kutipan dari Sapardi Djoko Damono (2004) ini tertulis di sampul belakang buku Pacar Senja.

Lewat teknik personifikasi, Jokpin bercerita tentang benda-benda lekat dengan keseharian kita itu dalam peristiwa-peristiwa sederhana. Kalau yang melakukan hal tersebut tidak memiliki kemampuan berbahasa dan tanpa imajinasi serta kedalaman pemikiran seperti Jokpin, puisi dengan teknik seperti itu akan sangat membosankan. Namun, di tangan Jokpin, puisi-puisi tentang celana, sarung, ranjang, kuburan, dan kulkas, yang jauh dari kata-kata indah yang biasa ditemui dalam puisi, bisa berubah menjadi kumpulan kata yang menggelitik kesadaran. Puisi-puisinya menampilkan ironi yang membuat kita memikirkan kembali berbagai macam hal dari sudut pandang berbeda. Misalnya dalam puisi berikut:


DI KULKAS: NAMAMU

Di kulkas masih ada 
gumpalan-gumpalan batukmu
mengendap pada kaleng-kaleng susu.

Di kulkas masih ada
engahan-engahan nafasmu
meresap dalam anggur-anggur beku.

Di kulkas masih ada
sisa-sisa sakitmu
membekas pada daging-daging layu.

Di kulkas masih ada
bisikan-bisikan rahasiamu
tersimpan dalam botol-botol waktu.

(1991)


Kulkas kita gunakan sebagai tempat penyimpanan. Jokpin membuat kulkas lebih "manusiawi" dengan mengandaikannya sebagai pikiran manusia yang menyimpan banyak kenangan. Kaleng susu, sisa sakitmu, bisikan rahasia, semua mewakili 'mu' yang memiliki hubungan dekat dengan 'aku', subyek puisi tidak hadir, tapi bercerita dalam puisi ini.


KERANDA

Ranjang meminta kembali tubuh
yang pernah dilahirkan dan diasuhnya
dengan sepenuh cinta.

"Semoga anakku yang pemberani,
yang jauh merantau ke negeri-negeri igauan
menemukan jalan untuk pulang,
pun jika aku sudah lapuk dan karatan."

Tapi tubuh sudah begitu jauh mengembara.
Kalaupun sesekali datang, ia datang
hanya untuk menabung luka.

Dan ketika akhirnya pulang
ia sudah mayat tinggal rangka.

Ranjang yang demikian tegar lagi penyabar
memeluknya erat: "Aku rela jadi keranda untukmu."

(1996)


Dalam puisi "Keranda" personifikasi lebih terasa kuat. Ia bisa melahirkan tubuh dan memiliki sifat yang tegar lagi penyabar. Puisi ini berkisah tentang pulang. Pulang ke rumah yang bisa berarti keluarga, tapi bisa juga diartikan ke rumah peristirahatan terakhir.




Rumah

Ayu Utami dalam Kata Penutup berjudul "Joko Pinurbo: Mengapa Kematian, Penyairku?" menyimpulkan tema yang lekat dalam puisi-puisi Jokpin adalah kematian dan kelahiran. Menurut Ayu, setidaknya sepertiga dari kumpulan puisi ini mengandung kata ‘kuburan’, ‘makam’, ‘nisan’, ‘keranda’, ‘jenazah’, ‘mayat’, ‘mati’ di satu sisi, serta di sisi lain ‘vagina’, ‘garba’, atau pun gambaran yang merupakan substitusi dari ‘rahim’.

"Jika kita memasukkan kata dan deskripsi lain yang secara semantik berhubungan lebih longgar dengan kematian dan rahim—misalnya tentang penyakit, rasa sakit, ketuaan, kain kafan, tubuh perempuan sebagai tubuh ibu yang susut digerogoti oleh kerja mengandung, melahirkan, menyusui—niscaya hampir tiga perempat kumpulan ini mempunyai dorongan yang sama, sebuah tendensi morbid—dalam arti yang lebih netral." Demikian Ayu jelaskan pendapatnya.

Namun, nuansa misteri yang biasanya lekat dengan kelahiran dan kematian tidak terasa di sajak-sajak Jokpin. Penyair kelahiran 11 Mei 1962 ini seperti ingin mengakrabi keduanya dengan memilih kata-kata sederhana, peristiwa sehari-hari yang bisa kita temui di rumah. Jokpin seperti ingin berbicara tentang rumah sebagai tempat kita sakit dan dirawat, tempat yang kita tinggalkan, tempat kita pulang. Tempat di mana kelahiran dan kematian bergantian hadir sebagai bagian dari kehidupan.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rahim dan Kepahitan Perempuan dalam Patiwangi Karya Oka Rusmini

Puisi-puisi Norman Erikson Pasaribu dan Pentingnya Keragaman dalam Sastra Indonesia