Bagaimana Kalau Chairil Anwar itu Perempuan? Ulasan Lakon Perempuan-perempuan Chairil
Mari berandai-andai! Bagaimana kalau Chairil Anwar itu perempuan?
Apakah 68 tahun setelah kematiannya akan ada sebuah lakon dengan judul Para
Laki-laki Chairil? Apakah memiliki banyak pasangan akan sama “jantan”-nya jika
itu dilakukan oleh seorang penyair perempuan?
Chairil dan Ida dalam lakon Perempuan-perempuan Chairil.
(kredit foto: Image Dynamics)
|
Dalam lakon empat babak yang disutradarai Agus Noor ini,
diceritakan hubungan Chairil dengan empat perempuan yakni Ida, Sri, Mirat dan
Hapsah. Empat perempuan yang menggambarkan sosok perempuan pada zaman perang
kemerdekaan sekitar tahun 1940.
Ida Nasution yang diperankan oleh Marsha Timothy adalah
mahasiswi, penulis yang hebat, pemikir kritis dan bisa menyaingi
intelektualisme Chairil ketika mereka berdebat. Sri Ajati yang diperankan oleh
Chelsea Islan, juga seorang mahasiswi dan penyiar radio, bergerak di tengah
pemuda-pemuda hebat pada zamannya. Ikut main teater, jadi model lukisan, gadis
ningrat yang tak membeda-bedakan kawan. Hubungan Chairil dengan dua perempuan
ini tidak berbalas. Mereka meninggalkan penyair yang digambarkan “tidak punya
apa-apa” ini.
Perempuan ketiga, Sumirat diperankan oleh Tara Basro, juga
seorang yang terdidik yang lincah. Tahu benar bagaimana menikmati hidup,
mengagumi keluasan pandangan Chairil, menerima dan membalas cinta Chairil
dengan sama besarnya tapi akhirnya cinta itu kandas. Chairil tidak memiliki
keberanian yang cukup besar untuk menikahi Mirat.
Perempuan yang akhirnya dinikahi Chairil adalah Hapsah
Wiriaredja yang diperankan oleh Sita Nursanti.
Hapsah yang merasa menjadi “perempuan biasa” dibanding
perempuan-perempuan sebelumnya malah yang bisa membuat Chairil sadar bahwa dia
adalah lelaki biasa. Hapsah yang memberi anak pada Chairil ini begitu berani
mengambil risiko mencintai Chairil karena tahu lelaki itu akhirnya akan berubah.
Ternyata kematian lebih dulu menjemput Chairil di usia 27 tahun, sebelum Chairil bisa
menjadi laki-laki seperti yang diharapkan Hapsah.
Chairil dan Sri dalam lakon Perempuan-perempuan Chairil.
(kredit foto: Image Dynamics)
|
Sedikit tentang lakon yang diproduseri oleh Happy Salma
lewat Titimangsa Foundation, Chairil Anwar diperankan oleh Reza Rahadian.
Ternyata jam terbang bermain di 40-an film layar lebar dan beberapa kali naik
ke pentas teater (salah satunya dalam Bunga
Penutup Abad sebagai Minke), tidak cukup mengasah kemampuan akting Reza
dalam memerankan Chairil. Ia seperti hanya menjadi pendamping para perempuan
lawan mainnya, padahal dialah pemeran utama yang harusnya tampak dominan di
atas panggung.
Dalam lakon yang dipentaskan tanggal 11-12 November 2017 di
Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki ini, akting Tara Basro sebagai Mirat yang
tampil cemerlang. Penonton bisa merasakan patah hatinya, kemarahannya, jatuh
cintanya, dan keputusasaannya menghadapi laki-laki semacam Chairil. Tampil
dengan baju gaun merah menyala, Tara adalah bintang dalam pementasan tersebut.
Kualitas akting yang sama ditampilkan oleh Sita. Hapsah yang
“hanya perempuan biasa” tampil luar biasa dengan akting yang menggelitik. Sita
berhasil menampilkan keluwesan sebagai sosok yang paling keibuan di antara perempuan-perempuan
Chairil yang lain.
Karakter Ida yang diperankan Marsha dan karakter Sri yang
dimainkan Chelsea sedikit banyak punya kemiripan. Dari sisi kostum yang setipe
dan tata panggung yang kurang lebih sama, akting mereka jadi tampak monoton.
Mungkin karena itulah, kekuatan akting mereka tidak tampil maksimal
dibandingkan Tara dan Sita. Yang pasti, akting Chairil tampak monoton dan kurang
menyala. Hal ini semakin tampak karena saat di panggung tidak ada perempuan
adegan jadi terasa membosankan. Ini harusnya tidak terjadi jika kualitas akting
Reza bisa menyamai aktor lain.
Lima tokoh utama dalam lakon ini seperti mendeklamasikan
puisi-puisi Chairil Anwar dalam sebuah medley
yang apik. Mereka bersaut-sautan dengan kata-kata yang diciptakan lebih dari
50an tahun lalu itu. Tidak seperti penciptanya yang mati muda, kata-kata yang
diciptakan dalam puisi-puisi Chairil hidup kembali berkali-kali dalam setiap
deklamasi. Penulis skenario Agus Noor (yang juga bertindak sebagai sutradara),
Hasan Apsari (penulis biografi Chairil
yang menjadi dasar penulisan skenario lakon ini), dan Ahda Imran, berhasil
menghidupkan kata-kata penyair jalang dalam bentuk yang lebih populer tanpa kehilangan semangat dan keliarannya.
Sedikit banyak, penonton juga akan memahami proses kreatif
seorang penyair. Bagaimana hubungan menginspirasi karya-karyanya. Dalam konteks
Chairil, bagaimana empat perempuan itu menginspirasinya dalam menciptakan
puisi. Baik itu yang ditujukan langsung untuk mereka, maupun yang secara tidak
langsung. Penulis skenario dan sutradara, Agus Noor mengakui kalau lakon ini
menggunakan pendekatan biografi puitik.
Chairil dan Mirat dalam lakon Perempuan-perempuan Chairil.
(kredit foto: Image Dynamics)
|
Penyair Perempuan
Chairil Anwar adalah legenda penyair Indonesia dalam hal
karya maupun kehidupannya. Karyanya menginspirasi banyak penyair generasinya
hingga banyak generasi setelahnya. Kehidupannya ada tipikal kehidupan penyair
pada umumnya: memuja banyak perempuan, idealis, melankolis, dan tragis. Banyak
penyair yang meniru kehidupan Chairil, dalam hal perempuan, maupun dalam hal
lain.
Tidak sedikit penyair yang terang-terangan atau
sembunyi-sembunyi menggilai dan memuja banyak perempuan. Ada yang pernikahannya
kandas, ada yang terang-terangan berselingkuh, dan bahkan ada yang terjerat
kasus pemerkosaan. Apakah kasus-kasus yang terkait dengan perempuan itu membuat
penyair tersebut tamat karirnya dalam dunia sastra? Tentu tidak. Seperti
Chairil, mana mereka tetap harum, karya mereka tetap dipuja, dan “kejantanan”
mereka menjadi panutan generasi selanjutnya.
Mari melanjutkan berandai-andai. Bagaimana jika Chairil
Anwar perempuan? Bisa dibayangkan kalau kemampuannya ‘memikat’ lawan jenis
dengan kata-kata akan berubah. Kata kerja yang digunakan bukan lagi memikat,
tapi menggoda yang konotasinya cenderung negatif. Lalu, kedekatan Chairil dengan banyak tokoh, seperti H.B. Jassin, tidak lagi dilihat sebagai pintar bergaul dan mampu menjalin koneksi yang luas. Bila
Chairil itu perempuan, kata-kata yang muncul dalam puisinya akan dicurigai
datang dari si Paus Sastra Indonesia itu, bukan murni miliknya sendiri. Kedekatan mereka pun akan dinilai sebagai bantuk ‘barter’ pengorbitan nama Chairil masuk dalam jajaran
Pelopor Angkatan ’45.
Chairil dan Hapsa dalam lakon Perempuan-perempuan Chairil.
(kredit foto: Image Dynamics)
|
Berbicara tentang penyair perempuan memang tampaknya hanya
bisa dilakukan sambil berandai-andai. Dibandingkan dengan laki-laki, jumlah
penyair perempuan sangat sedikit. Lihat saja buku berjudul Antologi Puisi Indonesia: Kumpulan Pilihan Yayasan Lontar (Yayansan
Lontar Nusantara, 2017) yang ingin Melacak
Sejarah Bangsa Abad ke-20 Melalui Puisi. Dalam buku yang tebalnya hampir
800 halaman ini ada 248 penyair dengan karya-karya pilihan mereka. Bisakah Anda
menebak ada berapa perempuan yang tercatat sebagai penyair dari tahun 1920 hingga
tahun 2000? Buku tersebut mencatat hanya ada 26 penyair perempuan atau sekitar
10 persen.
Secara umum, nama perempuan memang semakin banyak yang
bermunculan di dunia Sastra Indonesia sejak era reformasi. Meskipun masih tergolong sedikit, label yang muncul buat mereka sudah sangat eksotis dan kontroversial: Sastra
Wangi. Entah wangi apa yang mereka maksud, wangi bunga kah; harum parfum kah,
atau jangan-jangan aroma selangkangan yang selalu mereka incar?
Mari kita berandai-andai, bagaimana jika Si Binatang Jalang
itu berkelamin betina, bukan jantan. Apakah kalimat “Aku tetap meradang
menerjang,” akan tetap menjadi sebuah keberanian yang menunjukkan bentuk perjuangan? Jika yang berani “meradang
dan menerjang” itu binatang jalang betina, pejuang juga kah mereka dan bukan ancaman yang harus dikekang?
Komentar
Posting Komentar