Misteri Kematian dan Janji Surga dalam Novel Faisal Oddang



Surga diciptakan karena...

Demikian kalimat menggantung yang tertera di bawah judul novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang. Buku terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (Jakarta, 2015) ini ditulis untuk menjawab pertanyaan, "Kenapa surga diciptakan?" Pertanyaan penting yang akan memengaruhi kehidupan manusia dan apa saja yang akan diperbuatnya sebelum dijemput kematian. Kematian dan surga adalah dua hal yang menggerakkan alur dan menciptakan konflik novel ini.

Ini kisah kematian. Dimulai dengan kematian seseorang diakhiri dengan kematianmu. Iya, kematianmu. Tidak usah terkejut.
Novel ini 200an halaman ini terbagi dalam empat bagian dan 20 bab. Tiap bagian diberi judul dan potongan puisi. Bagian pertama berjudul "Menyiapkan Kematian", bagian kedua "Pada Kematian Itu, Aku Pergi", dilanjutkan dengan "Obituari Luka", dan terakhir "Alam Baka" atau puya.

Narator dalam novel ini adalah leluhur orang Toraja, suku yang terkenal dengan tradisi upacara kematian yang spektakuler, melebihi upacara pernikahan anak-anak generasi milenial: rambu solo. Cerita tidak hanya dikisahkan oleh narator. Ada tiga tokoh utama yang ikut bercerita dalam novel ini. Secara bergantian, pembaca dibawa keluar-masuk sudut pandang penceritaan mereka. Tiap pergantian dibedakan dengan tanda bintang dan tanda kurung. Sederhana.

Selain Leluhur, kisah kematian ini juga dinarasikan oleh keluarga Ralla yang tergolong bangsawan Tana Toraja. Rante Ralla sebagai Ambe atau ayah, Allu Ralla sebagai anak pertama, dan Maria Ralla si bungsu. Semua pencerita sudah meninggal dan berkisah dari alam lain, kecuali Allu Ralla, anak laki-laki yang mewarisi tampuk kepemimpinan ayahnya.

Kisah dibuka dengan kematian Rante Ralla yang diliputi misteri besar. Misteri yang tidak dirasa penting untuk diungkap oleh Allu Ralla, sang anak. Padahal sebagai pembaca, kita pasti penasaran dan ingin segera tahu apa penyebab kematian Rante Ralla.

Allu malah hanya memikirkan tentang upacara pemakaman Ambe-nya. Sebagai pemimpin keluarga yang masih terlalu muda, Allu digambarkan sangat labil dan emosional. Keteguhannya menentang adat rambu solo yang menguras harta hanya seumur jagung. Rasa bersalah dan keinginan membahagiakan keluarga, membuatnya menempuh cara-cara yang di luar idealismenya dan akhirnya bersedia menggelar rambu solo untuk ayahnya.

Bagaimana Allu tidak labil, kalau ayahnya pun dalam kematian juga demikian. Ia mengerti bila anaknya ingin memutuskan pemakman biasa, tapi juga merasa ingin dibuatkan rambu solo demi bisa mencapai surga dengan "cara terhormat" layaknya bangsawan lain. Pemakaman biasa atau menggelar rambu solo merupakan gambaran tarik menarik antara pelestarian adat budaya Toraja dengan kemajuan zaman dan modernisasi. Konflik yang pasti akan muncul saat mengangkat kisah berlatar tradisi masyarakat adat.


Tokoh Perempuan

Bila Rante Ralla bercerita sebagai "orang sakit" yang sedang menunggu upacara kematian yang akan mengantar arwahnya ke surga, Maria Ralla hampir sama. Maria meninggal pada usia lima bulan. Menurut adat Toraja, mayat bayi harus dikuburkan di pohon tarra, tanpa upacara rambu solo. Namun, Maria tetap harus menunggu hingga usianya dewasa, baru bisa melakukan perjalanan ke puya. Sambil menunggu "tubuh"-nya menjadi kuat, Maria hidup bersama bayi-bayi lain di bawah asuhan ibu pohon. Maria bisa melihat kehidupan keluarga Ralla: ambe, indo, kakaknya. Dari narasi Maria terungkap misteri yang meliputi keluarga tersebut.

Maria yang jauh lebih muda dari kakaknya Allu, digambarkan lebih gigih dan lebih kuat. Secara sepintas, Faisal Oddang menggambarkan tokoh-tokoh perempuan yang lebih kuat dan lebih dominan. Tina Ralla disebut sebagai perempuan pekerja keras yang bisa menghidupi keluarga saat suaminya, Rante Ralla yang senang berjudi terjebak dalam jeratan utang. Siti, pacar Allu juga digambarkan sebagai perempuan mandiri dan cerdas. Lalu Malena, anak Pak Kades yang hampir dinikahi Allu juga dikatakan cerdas dan tegas.

Namun, bila diperiksa lebih jauh, tokoh-tokoh perempuan ini akhirnya dibuat tidak berdaya. Tina Ralla yang mengetahui penyebab kematian suaminya dibiarkan bungkam dan tidak bisa berkata-kata. Ia yang tahu jiwa labil anak laki-lakinya juga tidak mampu mengambil alih kepemimpinan. Bahkan sejak suaminya masih hidup, ia tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah bertumpuknya utang.

Demikian pula dengan Siti dan Malena. Meskipun dikesankan Allu bertekuk lutut di bawah kaki mereka, tapi pada akhirnya Siti yang cerdas dibuat hamil di luar nikah. Ia mencari-cari Allu untuk minta pertanggung jawaban. Dan Malena? Malena yang cukup cerdas berhasil menipu Allu, tapi dibuat juga tidak berdaya. Tipuan Malena dibuat sebagai alasan agar pada akhir cerita para pembaca bisa "memaklumi" tindakan biadab terhadap perempuan itu.

Novel ini memiliki alur cerita yang menarik. Kemampuan Faisal Oddang yang dengan sabar menampilkan potongan-potongan cerita yang mengungkap misteri kematian Rante Ralla berhasil membuat pembaca penasaran. Cerita yang mengalir, diksi yang menarik, dan bagaimana semua istilah asing dari Tanah Toraja bisa dimengerti tanpa catatan kaki, merupakan bukti kepiawaian menulis Faisal.

Sayangnya, janji surga yang menggerakan alur dan menjadi motivasi tokoh dalam novel ini masih terasa klise dan belum dalam. Selain itu, pilihan Faisal Oddang menampilkan perempuan yang akhirnya harus kalah di bawah kuasa laki-laki, cukup mengganggu. Mungkin karena saya perempuan, dan ini hanya pendapat subjektif saya saja. Semoga saya salah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Joko Pinurbo dan Makna Rumah dalam Personifikasi Kulkas, Ranjang dan Celana

Rahim dan Kepahitan Perempuan dalam Patiwangi Karya Oka Rusmini

Puisi-puisi Norman Erikson Pasaribu dan Pentingnya Keragaman dalam Sastra Indonesia