Rahim dan Kepahitan Perempuan dalam Patiwangi Karya Oka Rusmini



Judul : Patiwangi
Pengarang : Oka Rusmini
Penerbit : Bentang Budaya
Cetakan : Pertama, Juli 2003
Pemeriksa Aksara : Yayan R.H., Heni Purwaningsih
Penata Aksara : Sugeng D.T.


Oka Rusmini merupakan sedikit dari sekian penulis yang berhasil menguasai tiga bentuk fiksi: novel, cerpen, dan puisi. Perempuan Bali yang lahir di Jakarta, 11 Juli 1967 ini dikenal pertama kali lewat novel Tarian Bumi pada tahun 2000. Novel yang sarat dengan budaya Bali ini menjadi ciri khas karya-karya Oka dalam bentuk lain: cerpen dan puisi. Pada tahun 2003, novel ini mendapat Penghargaan Penulisan Karya Sastra 2003 dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (dulu Pusat Bahasa) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 

Dalam Ensiklopedia Sastra Indonesia disebutkan, Tarian Bumi dianggap sebuah babak baru penulisan prosa panjang di Indonesia yang menampilkan tokoh-tokoh perempuan berbeda dibandingkan penggambaran yang pernah ada dalam khazanah sastra sebelumnya, yaitu sebagai sosok-sosok kuat, gelisah, mandiri, radikal, dan memberontak.

Bukan hanya menampilkan perempuan sebagai subyek yang berdaya, Oka juga ingin mendobrak banyak stereotip tentang kecantikan perempuan. Salah satunya dalam "Pemahat Abad" yang menjadi cerpen terbaik pada 1990-2000 dari majalah sastra Horison. Bagaima dengan puisi-puisi Oka Rusmini? Masih dengan latar budaya Bali yang kental, Oka terus menyuaraan isu perempuan.

Patiwangi merupakan buku puisi pertamanya di luar antologi yang dipublikasikan secara terbatas. Judul tersebut diambil dari upacara adat Bali yang dilakukan terhadap perempuan bangsawan di Pura Desa untuk menghilangkan kebangsawanannya, karena menikahi laki-laki yang berkasta lebih rendah. Kata 'pati' artinya mati, dan 'wangi' bermakna keharuman. Dari namanya dan fungsinya dapat dirasakan bagaimana upacara dapat berdampak psikologis bagi para perempuan bangsawan Bali yang harus menjalaninya.

Ada 113 puisi dalam Patiwangi yang dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama "Potret" berisi 17 puisi yang berangka tahun 1990 hingga 1992-1993; bagian kedua "Upacara" dengan 39 puisi dengan angka tahun 1992-1993 hingga 1995/1996; bagian terakhir "Totem" memiliki puisi paling banyak, yaitu 57 buah dengan angka tahun 1996-1998. Dalam tiga bagian itu rahim, sebagai organ reproduksi perempuan kerap muncul. Perbincangan tentang rahim dalam buku ini menjadi berbeda karena disuarakan oleh perempuan dengan kejujuran, tanpa glorifikasi. 


Pada Pemilik Rahim

tali rohku dan rohmu mulai berwarna
dari serat ari-ari pembentuk kehidupan
tumbuh cendawan beracun
aku tak punya penggerak
untuk menuangkan kesetiaanku padamu
karena kaupinjamkan hidup padaku

tanpa sadar
telah kaubuat dunia penuh nanah
sumber belatung dan dendam
menyiramkan bau busuk
pada setiap lubang hidupku

kaulepas wajah perempuanmu, juga warnamu
membuang tubuhku jauh-jauh
aku ingin mengenal tubuhku sendiri tanpa dirimu, nak
kumiliki lelaki dan anak-anak baru
pergilah!

tidak ada sorga di telapakmu

permusuhan kita
permusuhan roh yang parah

1990




Ada pahit yang tertinggal selepas membaca karya-karyanya Oka. Pahit itu ditampilkannya dengan menarasikan penderitaan, kemarahan, rasa tertekan perempuan. Tergambar dalam puisi di atas bagaimana kehamilan membuat perempuan tidak lagi mengenali tubuhnya. Tekanan dan tuntutan untuk memiliki anak laki-laki dapat membuat seorang ibu membenci janin di tubuhnya jika diketahui berkelamin perempuan. 






Menyuarakan Kepahitan

Mengapa Oka merasa perlu untuk menyuarakan perempuan dengan ada sedemikian pahit? Karena selama ini, glorifikasi peran ibu dan kemampuan untuk hamil dan melahirkan anak lebih banyak membawa kerugian bagi perempuan. Melahirkan anak sudah dianggap menjadi "tugas" perempuan, termasuk membesarkannya. Laki-laki merasa tidak perlu campur tangan. Pembagian tugas keluarga jadi tidak seimbang, apalagi di masyarakat Bali yang juga membebankan tanggung jawab finansial pada perempuan. 

Oka menampilkan rahim sebagai suatu yang tidak suci, membebani dan menyakiti tubuh perempuan. Ini merupakan jeritan keputus-asaan. Bahwa "menjadi ibu" membutuhkan peran laki-laki juga untuk bisa "menjadi ayah". Bahwa "membesarkan langit" dan "menyuburkan bumi" bukanlah pekerjaan yang mudah dan bukan hak masyarakat untuk meminta itu semua pada seorang istri atau ibu.


Menjadi Ibu

aku meloncat-loncat. melubangi tanah. memisahkan air.
kubayangkan boneka-boneka kecil meloncat dari perutnya.

"aku yang jadi ibu. duduklah. aku akan mengeram seperti
                                                                                                          ayam.
perutku meletus."

(semua mata menatapku. mereka berpegangan erat.
sesekali membentulkan mahkota daun di atas kepala.)

aku tidak lagi meloncat. sebuah jalan menawarkan hidupnya
                                                                                                       untukku.

"jadilah kau perempuan. membesarkan langit dan
                                                                               menyuburkan bumi."

(kali ini aku yang menatap suara itu. suara yang menuntut
                                                                                                            hak.)

aku mulai mempelajari aroma
yang dipecahkan serat tubuhku. aku harus menumbuhkan 
                                                                                                     ladang,
seorang peladang akan menanamkan benihnya. lengkap dengan
                                                                                                   cangkul tajam.

dia akan lukai tubuhku
alirkan darah dari dua kakiku.
darah yang mewujudkan wujud laki-lakinya.
lubang yang memberi jalan untuk manusia.
apa yang kudapat?
luka
rasa sakit
keabadian

1997



Dalam puisi ini disebutkan bahwa rahim diibaratkan ladang dan penanaman benih dilakukan dengan cangkul tajam. Lalu pada akhirnya yang didapat perempuan dari proses "memberi jalan untuk manusia" adalah luka, rasa sakit, dan keabadian. Oka menggunakan kata 'keabadian' karena rahim, yang melahirkan kehidupan dengan barter rasa sakit dan luka, selamanya akan jadi milik perempuan. 






Kepemilikan Rahim

Rahim dan bagian tubuh lain diatur dan dimiliki bukan hanya oleh perempuan. Negara, keluarga, masyarakat merasa berhak atasnya. Itulah kepahitan yang dialami perempuan dalam puisi-puisi Oka Rusmini. 

Oka ingin merebut kembali rahim dan tubuh perempuan lewat narasi puisi-puisinya, "jangan sentuh tubuhku | aku ingin menari | tak akan kubuka mata" tulisnya dalam puisi "Rahim".


Rahim

maka menggelombanglah tanah
memecah akar pohon
remahnya digiring nelayan ke laut

perempuan-perempuan
datang dengan dada terbuka
segenggam pasir
dan air laut yang enggan jadi garam
satu demi satu menenggelamkan tubuhnya
butir pasir leluasa menerobos liang miliknya

kuinginkan anak-anak 
yang menyusu pada ikan hiu

orang-orang datang
tubuhnya berdaun pedang
mulut mereka terbuka
sambil menabur tambur
memanggil seluruh pendeta

para perempuan mengurai rambut
helai demi helai
menjelma perahu

kuhanyutkan rahim penuh bibit
kuinginkan pulau penuh rumput
sesekali burung meneteskan bibit telurnya

pulanglah,
selagi matahari tak mampu membakar urat kulitmu
orang-orang bertubuh pedang melempar jangkar

jangan sentuh tubuhku
aku ingin menari
tak akan kubuka mata
untuk daging-daging berdenyut yang dihanyutkan
dalam keranjang-keranjang plastik

ketika perempuan tidak lagi bisa mengalirkan susu
ke dalam tempurung tulang anaknya

diletakkannya dagingnya
di kandang sapi

1998


Bagitu banyak penyataan-pernyataan yang disampaikan "aku" dalam puisi-puisi tentang otoritas diri yang dimuat dalam Patiwangi. Pernyataan seperti "aku tak mau tubuhku disentuh tanah yang lain" atau "aku tak mau menyentuhmu" dan "aku ingin rasaku mati" dalam puisi "Pulang ke Rahim Bumi". 




Pulang ke Rahim Bumi

aku tak mau tubuhku disentuh tanah yang lain
kecuali warna tanahmu

matahari tak mampu merobek keputusan
yang semakin menetes membasuh jiwa
coba mengajakku pulang

dari mana harus mulai bicara
melalui daun-daun
atau menunggu matahari jatuh
memberi warna pada rumput

biar tubuh terbakar
aku tak mau menyentuhmu
tidak juga mengenalmu

aku tahu kau selalu ada
melukis wajahku
mengajari menyulam waktu
untuk paham arti perjalanan menjadi manusia

aku ingin rasaku mati
setiap menyentuh jengkal tanahmu

1990




Dalam puisi "Rumah Rahim", ada juga pernyataan dari "aku" yang ingin menegaskan otoritas diri, bahwa dirinya yang bisa memutuskan apa yang ingin dan tidak ingin dilakukan dirinya dan atas tubuhnya. Keinginan untuk menjadi subyek, bukan obyek. 


Rumah Rahim


dari darah aku terbentuk
ari-ari yang membungkus tubuh
menguliti rasa takut
dinding-dinding itu
menyembunyikan setiap daging manusiaku

dua bentuk mahluk
menyekutukan kekuatan
menembus waktu
melubangi rasa
laut pecah dalam kebersamaan

daun-daun meninggalkan urat
menyiapkan ladang kematiannya sendiri
bunga menutup kelopaknya
jari-jari kaki dan tanganku
meraup usus yang melintir

dari rahim manusia aku keluar
matahari menembus ubun-ubun
cahayanya mengepung tubuh
mengajakku berperang

aku tidak ingin menjadi perempuan itu
dinding tempatku berlindung
membuatkan lubang besar
membuangku kasar ke bumi

segenggam darah di tangan 
kuraupkan

aku mulai pandai mengenakan topeng

1991


Oka berani menampilkan kepahitan-kepahitan hidup perempuan dari penyataan-pernyataan yang menghentak melalui tokoh "aku". Puisi-puisinya merupakan seruan bagi kaumnya untuk memikirkan kembali tentang rahim, tubuh perempuan, dan posisinya dalam masyarakat. Patiwangi bukanlah kematian. Kehilangan nama harum dan posisi bangsawan bukanlah kekalahan. Di dalamnya ada kelahiran kembali, kemenangan perempuan dalam perebutan otoritas akan tubuhnya. 


***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Joko Pinurbo dan Makna Rumah dalam Personifikasi Kulkas, Ranjang dan Celana

Puisi-puisi Norman Erikson Pasaribu dan Pentingnya Keragaman dalam Sastra Indonesia