Puisi-puisi Norman Erikson Pasaribu dan Pentingnya Keragaman dalam Sastra Indonesia



Judul : Sergius Mencari Bacchus
Penulis : Norman Erikson Pasaribu
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Ilustrator, Disain Sampul, Tata Letak : Leopold A. Surya Indrawan


Keragaman dalam Sastra Indonesia, khususnya puisi sulit terwujud jika penulisnya itu-itu lagi. Ini mengacu pada panyair laki-laki heteroseksual yang nama-namanya mendominasi jagat sastra kita. Iya, benar dominasi ini sedikit berkurang dengan munculnya banyak nama perempuan beberapa tahun belakangan ini. Namun, perjalanan untuk memperkaya keragaman Sastra Indonesia masih panjang dan harus terus dilakukan.

Memambah keragaman sastra bukan hanya dengan menambah karya dari penulis perempuan. Dunia tidaklah biner, bukan hanya ada laki-laki dan perempuan. Sejak zaman nenek moyang kita, ada spektrum gender yang nonbiner. Sergius Mencari Bacchus karya Norman Erikson Pasaribu menambah kekayaan Sastra Indonesia dari sisi nonbiner tersebut.

Buku ini memenangkan Sayembara Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 2015. Setelah sayembara ini vakum selama 14 tahun, tim juri penyair Joko Pinurbo, penyair dan novelis Oka Rusmini, serta kritikus sastra Mikael Johani, memilih tiga pemenang yang tidak biasa. Ada dua penulis perempuan, yaitu Pemenang II Ni Made Purnama Sari dengan Kawitan dan Pemenang III Cyntha Hariadi dengan naskah berjudul Ibu Mendulang Anak Berlari.

Sergius Mencari Bacchus yang berisi 33 puisi merupakan Pemenang I yang juga tidak biasa. Bukan hanya dari penulisnya yang merupakan minoritas seksual, tapi juga dari karya-karya yang ditampilkan.

Identitas gender Norman tentunya memberikan warna yang tidak biasa dalam karya-karya yang ditampilkannya. Sebagai minoritas, dia memberikan cara pandang baru yang jarang kita jumpai dalam karya Sastra Indonesia.

Salah satu karya yang kerap dibicarakan dan diulas adalah puisi "Aubade" ini

AUBADE

Sejak pukul lima pagi kalian berada di McDonald's,
kemarin malam kalian menonton
Prayers for Bobby, dan ketika tokoh utama meratapi
aksi bunuh diri putranya   kepada si pendeta,     Panji tertawa
dan bilang     Toni nangis!     kalian ikut tertawa
sambil diam-diam   dalam gelap   melap air mata sendiri.
Sepanjang sisa malam  kalian mengobrol
  tentang orangtua
     dan mimpi pindah ke Belanda--meski
  tahu itu tak akan pernah terjadi--sebelum
     akhirnya merasa lapar.  Dua tahun lalu
Toni mengaku   kepada orangtuanya,    dan semenjak itu
belum pernah pulang.  Sekali ia menelepon ibunya di kantor.
Sambil menangis ibunya bilang, "Pulanglah, Toni.               Jangan takut,
nanti Mami temani kamu ke Dokter Fani,"--seolah Aku hanya bisa
  menyukai laki-laki  adalah gejala diare. Beberapa
dari kalian pernah,    di kursi belakang mobil,    diam saja
ketika orangtua kalian       mencibir waria di jalan.   Kini kalian tertawa
karena lelucon Toni   bahwa kelak orangtuanya   akan mati
untuk kali kedua    ketika berpapasan dengannya  di surga
Surga,
          Toni,
                    bagaimana bisa?
Kalian mendadak hening,  menyadari segala   telah menguning:
lantai,   piring-piring,   meja-kursi kayu,   sisa es krim. . . 
Matahari,  seolah tiba-tiba,  sudah melewati  pucuk pohon-pohon,
rumput hijau,  hamparan konblok,   Camry cicilan Fajar,   kembang sepatu
yang belum siap mekar,   pagar batu     yang memisahkan si kaya
dari si miskin,   si jantan   dari si betina,   yang memisahkan kalian
dari seisi dunia.   Hari baru lagi,   dan kalian tak ketakutan.  Kalian tahu pasti
tak akan mengakhiri hidup:    Bobby telah   mewakili kalian semua.


'Aubade' dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah nyanyian cinta pada pagi hari. Kata dari bahasa Perancis ini awalnya diartikan sebagai dawn serenade, tapi kemudian berkembang menjadi sesuatu yang lebih intim dan personal, yaitu lagu atau puisi tentang perpisahan dengan kekasih di dini hari.

Puisi ke-17 pada halaman 25 ini menampilkan 'aku' yang juga berbicara tentang 'kalian', tentang refleksi hidup mereka sebagai minoritas seksual. Bagaimana mereka melihat kehidupan mereka masing-masing dalam sebuah film, dalam tokoh Bobby yang bunuh diri. Dalam diri Panji yang menartawakan Toni yang menangis. Dalam peristiwa melela Toni yang orientasi seksualnya diangap penyakit dan dapat disembuhkan dengan membawanya ke dr. Fani.

Ada banyak cerita terangkum di sana, ada kebutuhan untuk melihat tokoh minoritas seksual di layar lebar (atau media lain) yang dapat mewakili 'kalian' semua.



Perwakilan itulah yang dibawa Norman dalam buku kumpulan puisinya. Buku ini dengan lantang menyatakan indentitasnya, membuka hidupnya, menampilkan kemungkinan-kemungkinan baru dalam sastra.

Namun, kelantangan dan kejujuran yang disampaikan tidak dapat selalu diterima dengan baik. Seperti kehidupan para minoritas seksual di negara pemuja moral Indonesia, tidak semua yang baik mengikuti kemenangan dan penerbitan buku ini. Banyak tragedi yang harus dilalui Norman.

Mengenai tragedi, Norman salah satunya menulis dalam puisi berikut:


SEBELUM AESCHYLUS

Satu

Suara-suara menyampaikan
kepadamu bahwa kau berada
di sebuah kolam hitam
berhamparkan bintang
maka kau berkhayal ada
di sebuah kolam hitam
berhamparkan bintang
dan mata-mata di sekelilingmu
berkhayal di sebuah kolam hitam
berhamparkan bintang
ada seorang gadis mengapung
sendirian.


Dua

Kau sedang dalam perjalanan
untuk menyelamatkan kekasihmu;
ia pergi bersama gelombang sebelumnya
dan kau berencana menunggunya, kelak
menjadi nenek yang tak pernah dia punya,
tetapi stasiun di Yupiter mendapatkan
pesan singkat bahwa kapal mereka
diserang mahluk tak dikenal: mereka
selamat, tetapi kapal terlampau rusak.
Sekarang kau malah keluar dari naskah--
bukan karena bohlam-bohlam tak menyala
semua, atau pengeras suara bermasalah,
melainkan banyak anak tak datang--ketika
kapalmu meledak, tak ada satu pun teknisi.
Sementara kau telah bebas--guru dramamu
menghilang setelah berteriak putus asa.


Tiga

Suara-suara menyampaikan
bahwa kau sedang memutar otak,
mencari jalan selamat--Tak ada mesias!
Tak asa mesias! Seluruh temanmu Yudas!
--maka kau berkhayal bahwa kau
sedang memutar otak, mencari jalan selamat,
sementara mata-mata di sekelilingmu
berkhayal bahwa ada jalan selamat,
bahwa kau sedang memutar otak,
bahwa yang mereka tengah liat
hanyalah kulit dari sesuatu yang agung
dan kompleks, yang kapan saja
dapat melompat dari balik tirai.


Seperti judul buku ini yang mengambil nama Santo, orang suci dalam kepercayaan Kristiani, puisi "Sebelum Aeschylus" ini juga bercerita tentang iman, pencarian jalan keselamatan dengan latar fiksi ilmiah yang kental. Judul puisi ini diambil dari tokoh Aeschylus, satu dari tiga penulis drama tragedi Yunani. Begitulan permainan puisi-puisi Norman yang berloncatan dari referensi klasik, populer, hingga ke masa depan. Selain gaya fiksi ilmiah, Norman juga bermain dengan memasukkan ilmu akutansi dalam puisi "Pembukuan Berbasis Akrual".



Buku yang Dihantar Banyak Cinta

Di luar indentitas penulisnya, buku Sergius Mencari Bacchus ini memang menawarkan sesuatu yang segar dalam permainan ide, tajam dalam makna, dan jujur dalam emosi yang memuatnya.

Itulah mengapa, meski banyak kesulitan yang harus dilalui, buku dan penulisnya diganjar berbagai penghargaan. Pintu-pintu peluang pun terus terbuka, menghantar keduanya menjadi wajah baru Sastra Indonesia yang makin kaya dan beragam.

Norman meraih penghargaan Sastrawan Muda Asia Tenggara oleh Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) pada 2017. Dia juga termasuk di antara 12 penulis yang dipilih untuk menghadiri Pameran Buku London 2019 pada bulan Maret lalu.

Selain itu, buku yang diterjemahkan oleh Tiffany Tsao ini menjadi salah satu entri pemenang PEN Presents Asia Timur dan Tenggara dan menerima PEN Translate Translate Award dari PEN Inggris di London. Buku kemudian diterbitkan penerbit Inggris Tilted Axis Press pada Maret dan Giramondo Australia pada Mei 2019.

Pintu-pintu yang terbuka itu merupakan bentuk cinta bagi para minoritas seksual. Suara mereka, seperti suara banyak golongan yang terepresi, perlu didengar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Joko Pinurbo dan Makna Rumah dalam Personifikasi Kulkas, Ranjang dan Celana

Rahim dan Kepahitan Perempuan dalam Patiwangi Karya Oka Rusmini