Pertobatan Saras Dewi dalam Bungkus Puisi



Judul : Kekasih Teluk
Pengarang : Saras Dewi
Penerbit : PBP Publishing / PWAG Indonesia
Cetakan : Pertama Maret 2017
Editor : Olin Monteiro
Kata Pengantar : Joko Pinurbo


Pertobatan sifatnya personal. Tidak ada yang bisa memaksa sesorang bertobat, kecuali dirinya sendiri. Pertobatan biasanya diawali kesadaran akan kesalahan atau dosa yang telah diperbuat. Menyusul kemudian penyesalan. Tidak cukup sampai di situ, pertobatan seharusnya disertai usaha untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Dalam buku kumpulan puisi keduanya Kekasih Teluk, Saras Dewi menarasikan pertobatannya.

Seperti layaknya sebuah pertobatan, narasi yang muncul dalam 60 puisi ini memang personal. Namun di antara kata-kata yang sederhana, personifikasi alam yang mengena, dan deskripsi rasa yang apa adanya, pembaca tetap bisa menemukan dirinya, merasakan kekecewaan, penyesalan, dan mungkin saja pada pertobatan pribadinya.

Saras Dewi adalah seorang aktivis lingkungan hidup. Pengajar di Jurusan Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia ini juga pencinta binatang yang memutuskan untuk menjadi vegetarian. Sejak 2014, dia aktif dalam gerakan Bali Tolak Reklamasi. Kecintaannya pada bumi dan mahluk seisinya juga membuahkan sebuah desertasi yang kemudian dibukukan oleh penerbit Marjin Kiri dengan judul Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam. Buku puisi ini disebut-sebut sebagai "pasangan" buku ilmiah yang terbit pada Maret 2015 tersebut.

Melihat latar belakangnya, apakah mungkin Saras (melalui narasi puisinya) memiliki "dosa" pada alam yang sudah dianggap sebagai "agama"-nya? Buku puisi ini dibuka dengan puisi "Agamaku", semacam pledoi tantang betapa mengganggunya pertanyaan "Agamamu apa?" Di puisi ini pembaca menangkap bagaimana kecintaan pada alam menjadi "agama" yang diyakini, diamalkan dalam ritual-ritual menikmati dan menjaga kelestarian alam. Puisi ini meneguhkan, konsep alam sebagai suatu agama yang dibicarakan dalam puisi-puisi selanjutnya.

Lebih lanjut mengenai pertobatan, puisi ini menyebut langsung kata itu. Narator dalam puisi ini menunjukkan penyesalan atas "akalku yang angkuh" sehingga menyebabkan pohon dan binatang terusik, tersiksa, dan menyuarakan "nyanyian terakhir" mereka. Aku dalam puisi ini bukan hanya si narator, tapi juga mewakili manusia sebagai para pendosa.


Nyanyian Terakhir

Bagaimana aku harus memulai
Permohonan maaf ini,
Yang terlampau terlambat
Yang kata-katanya dungu dan keji
Sebab akalku yang angkuh
Mengubur gema nyanyianmu

Kini kau telah punah
Dan nyanyianmu menjadi sayup di dalam mimpi
Segala yang murni tiada tercela dosa
turut musnah bersamamu
Segala yang mulia secitra senyum Tuhan
Juga turut lenyap

Yang tersisa hanya permohonan maaf
Dibalut dengan ribuan lapis air mata,
Juga bertumpuk rasa sesal yang tiada berujung

Maafkan aku burung layang
Maafkan aku pohon cendana
Maafkan aku paus biru
Maafkan aku orang utan

Aku menyusun kata-kata ini
Kujalin menjadi mantra
Dalam jalan pertobatan
Berharap, engkau akan menyanyi lagi.


Dosa si narator dalam puisi ini adalah "perkelahian" yang membuatnya pergi "meninggalkan" masa lalunya. Narasi ini muncul dalam beberapa puisi, antara lain dalam puisi "Jejak Tuhan di Teluk". Si narator mengatakan di sini "...anggaplah puisi ini uluran kerinduanku | Juga maaf yang tak mudah dituturkan..." Puisi ini merupakan satu dari dua puisi yang memiliki keterangan waktu. Tertulis "Nyepi 2016", angka tahun dan keterangan peristiwa yang menutup puisi ini menjadi penanda latar belakang Saras yang begitu kuat dalam budaya Bali dan agama Hindu yang muncul dalam banyak puisi lainnya.


Jejak Tuhan di Teluk

Semenjak perkelahian itu,
Aku pergi dari kuilmu
Meninggalkan adat dan sloka yang telah kau ajarkan
Aku pergi dengan luka bakar di lidah
Dengan sisa abu hujatan di mulut
Tetapi engkau yang mengukir setiap inci tubuhku
Engkau tahu, amarahku, kesombonganku, dan piluku
Maka, anggaplah puisi ini uluran kerinduanku
Juga maaf yang tak mudah dituturkan, sekalipun rintihan

Aku tahu kau menghampiriku,
Tetapi jiwa yang telah sakit
Tidak lagi menyadari panggilanmu
Pada derik jangkrik,
juga sepoi-sepoi angin yang mencuri kecupan
Akhirnya, berlututlah aku di lekuk pantaimu
Aku telah datang kekasih,
Teluk tidak lagi meratap
Ombaknya menjangkau, melompat seperti
Lumba-lumba yang melenting, lalu berdebur

Aku melihat jejak-jejak kaki di pasir
Mereka meninggalkan wangi kayu manis
Aku mengikuti langkahmu
Sayu-sayup aku mengenali suaramu memanggil,
Melompatlah...
Melompatlah...
Melompatlah...

Nyepi 2016






Pulangnya si Anak Hilang
Perginya si narator yang tergambar dalam puisi di atas, muncul lagi dalam puisi "Pintu Masuk Ke Masa Lalu" dan "Delima". Dalam "Delima" rasa penyesalan yang muncul begitu besar menyertai "kesadaran" si narator yang telah melupakan masa lalunya. Puisi dua setengah halaman ini bercerita tentang pohon delima sebagai simbol kenangan akan masa lalu. Delima bukanlah buah yang manis, ada rasa asam dan getir di butiran buahnya. Sesapan buah delima digambarkan sebagai obat untuk merekatkan kembali semangat yang patah, untuk membuat si aku terus terjaga dalam perjuangannya.

Pertobatan yang digambarkan dalam "Delima" tidak mudah. Jalan pertobatan membutuhkan penerimaan akan masa lalu, dan pengakuan atas apa yang sudah terjadi sebelumnya. Dalam "Pintu Masuk ke Masa Lalu", narator menunjukkan keberaniannya memasuki "Pintu yang menjadi poros duka". Puisi singkat ini menggambarkan sebuah penerimaan diri atas apa yang sudah terjadi.


Pintu Masuk Ke Masa Lalu

Pintu menuju masa lalu berwarna merah tua
Dengan ukiran emas kepakan sayap Jatayu melawan Rahwana
Pintu yang menjadi poros duka


Tentang penerimaan dan masa lalu ini, seperti perumpamaan anak yang hilang. Perumpamaan yang tercantum dalam Injil Lukas 15:11-32 ini menceritakan tentang kasih seorang bapak kepada anaknya. Pada suatu hari, seorang anak bungsu meminta harta warisan yang menjadi bagian miliknya. Padahal seharusnya dibagikan ketika si bapak sudah meninggal. Kemudian dengan harta warisannya itu, dia pergi ke negeri yang jauh. Di negeri tempat dia berdiam itu timbul bahaya kelaparan. Ia menyesal dan akhirnya memutuskan untuk pulang. Dia berpikir, bapaknya pasti tidak mau menerimanya lagi sebagai anaknya. Ternyata, apa yang terjadi sungguh di luar perkiraannya. Si bapak berlari menerima anak bungsu dengan gembira dan mengadakan pesta penyambutan.

Tidak ada pesta dan penyambutan dalam narasi-narasi puisi Saras, tapi penerimaan kakek, adiknya yang telah meninggal, dan teluk sang kekasih yang pengertian, terus mengalir dan membuat penyesalan serta keharuan dari narator muncul berulang kali. Bahkan di puisi "Berjalan Dengan Kakek" si narator diingatkan tentang pasang-surut kehidupan dan mendapatkan banyak penguatan untuk terus berjalan dalam "pertobatan"-nya. Meskipun pertobatan bersifat personal, tapi tujuannya bukanlah sekedar mencari ketenangan dan penghiburan. "Ini bukan soalmu saja," kata si kakek. Alam bukan soal manusia. Pertobatan padanya membutuhkan pengingkaran diri, melupakan kemauan, dan melihat dengan cakrawala yang lebih luas.


Berjalan Dengan Kakek

"Hatimu sudah menjadi sinis, cucuku.."
Berjalan kami di bibir Teluk,
Melihat Teluk yang sedang surut,
Sehingga ia muncul seperti gurun yang misterius
"Itulah hasil pendidikanku, Kakek yang meminta aku terus mencari ilmu"

Kakek menggandeng tanganku menuju karang, ia menunjuk ke sisi bebatuan
"Lihat, kepiting-kepiting sedang berbahagia,
Hidup seperti teluk ini, ada pasang dan surut,
Kau terjun merenangi hingga batas di saat pasang,
Tapi jangan bermurung diri di kala surut."
Tak lama, datanglah seorang nelayan dengan karung di pundaknya
Ia mengorek karang lalu tersenyum,
melempar kepiting-kepiting ke dalam karung.

"Kendalikan hatimu di kala surut,
karena surut pun menyembunyikan anugerahnya.
Ketahui ini tentang alam,
janganlah kau berkecil hati karena kemauanmu jauh dari capaian.
Ini bukan soalmu saja."





Personifikasi alam berserta isinya kuat terasa dalam hampir semua puisi-puisi Saras dalam buku ini. Teluk hidup layaknya kekasih. Si aku pun bisa bercumbu bersama teluk, memeluk dan menciumnya, berbincang-bincang, serta mengajukan pertanyaan. Dalam puisi "Pertanyaan Untuk Teluk" narator mengajukan pertanyaan. Pertanyaan tentang mengapa "pertobatan" yang dijalani begitu menyiksa. Teluk si kekasih tidak menjawab, karena sebenarnya si aku menyimpan jawaban itu di nadinya. Konsep ini mengingatkan akan spiritualitas dalam budaya Jawa yang memposisikan Tuhan sangat dekat, yaitu di nadi manusia yang mengimani-Nya.


Pertanyaan Untuk Teluk

Di atas pasir yang basah
Aku tuliskan pertayaan kepada Teluk,
"Mengapa begitu sakit mencintaimu?"
Aku menatap huruf-huruf itu
Yang jawabannya sudah tersembunyi di nadiku
Ombak datang lalu menghapuskan pertanyaan itu

Lagi kutuliskan dengan ujung telunjuk 
"Mengapa begitu pilu untuk mencintaimu?"
Teluk Benoa berpendar nila
Burung-burung bangau berceloteh badung
Apakah hatiku tanah bermainmu?
Kau injak-injak dengan senyum tipis

Terpuaskan kah kau wahai Teluk pujaan
Melihat badan yang gemetar
Mata yang sembab tak berperi
Ombak bergulung lagi menghapuskan pertanyaanku

Menjelang gelap kutuliskan pinta pada Teluk,
"Jangan siksa hambamu ini,
Kumohon Teluk,
Ampuni hambamu yang tak berdaya ini."


Jika teluk adalah kekasih, alam adalah ibu. Pertobatan aku dalam buku puisi ini adalah usaha untuk mengibukan alam, membina hubungan yang lebih intim dengannya seperti manusia memperlakukan ibunya sendiri. Seperti dalam puisi "Ibu", merusak alam adalah membunuh ibu sendiri. Dengan personifikasi semacam ini, Saras berharap manusia "bertobat" pada alam dan menebus segala dosa yang diperbuat dengan menjaga kelestariannya.

Sayangnya, ajakan untuk menjaga kelestarian alam tidak semudah itu. Bumi sudah lama dianggap sebagai ibu, tapi terus dirusak dan disakiti. Manusia tetap akan merusak alam, bahkan saat pantai, hutan, dan semua isinya tampil sebagai manusia. Bukankah manusia tetap membunuh sesamanya? Bahkan anak dan ibunya sendiri. Mungkin kenyataan itu pula yang disadari oleh si aku dalam puisi-puisi Saras Dewi. Karena itu pula lah, puisi-puisi ini sarat dengan rasa sakit, kesedihan, penyesalan, dan keputus asaan. Entah sampai kapan alam akan terus berkorban dan menyambut manusia si anak hilang yang terus datang dengan penyesalan.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Joko Pinurbo dan Makna Rumah dalam Personifikasi Kulkas, Ranjang dan Celana

Rahim dan Kepahitan Perempuan dalam Patiwangi Karya Oka Rusmini

Puisi-puisi Norman Erikson Pasaribu dan Pentingnya Keragaman dalam Sastra Indonesia