Masokhisme dalam Religi: Ulasan Buku Santa Rosa Karya Dorothea Rosa Herliany



Judul: Santa Rosa
Pengarang: Dorothea Rosa Herliany
Penerbit: Indonesia Tera, Magelang
Cetakan Pertama, 2005, 128 halaman
Penyunting & Penerjemah: Harry Aveling
Pengantar: Toeti Heraty
Penutup: Dami N. Toda


Santa Rosa merupakan buku kumpulan puisi Dorothea Rosa Herliany yang terakhir. Buku terbarunya Isinga: Roman Papua, merupakan prosa. Kemampuan Rosa sebagai penulis mendapat pengakuan pada kedua karya tersebut. Ia menjadi orang pertama yang memenangi kedua kategori Kusala Sastra Khatulistiwa, prosa dan puisi, dengan Santa Rosa pada 2006 dan Isinga pada 2015.

Selain dua buku tersebut Rosa menerbitkan kumpulan puisi Nyanyian Gaduh (1987), Matahari yang Mengalir (1990), Kepompong Sunyi (1993), Nikah Ilalang (1995), Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999), dan Kill the Radio (Sebuah Radio, Kumatikan; edisi dwibahasa, 2001). Ada pula dua buku kumpulan cerpen Blencong (1995) dan Karikatur dan Sepotong Cinta (1996).

Sama seperti buku Kill the Radio, Santa Rosa juga terbit dwibahasa: Indonesia & Inggris. Pada 26 puisi berbahasa Indonesia dan Inggris itu, Rosa sebagai penyair menciptakan jarak dengan mengangkat tokoh Santa Rosa. Ada dua Rosa dalam buku ini, si penyair dan si santa. Santa merupakan gelar untuk perempuan sebagai orang suci dalam tradisi gereja Katholik.



Santa Rosa

Tentang siapa itu Santa Rosa, Harry Aveling sebagai penerjemah dan penyunting memberikan catatan di bagian akhir buku mengenai tokoh tersebut. Santa Rosa de Lima (1586-1671) merupakan perempuan pertama dari benua Amerika yang memperoleh gelar kudus (santa) dengan pengukuhan secara kanonik oleh Gereja Katholik. Menurut Harry, perempuan kelahiran Peru ini sejak masih kanak-kanak hidup dengan laku mati raga (askese) ekstrim sebagai bentuk kesalehan hingga dia meninggal di usia 31 tahun.

Santa Rosa sejak usia enam tahun memotong rambut; berpuasa teratur: memakai baju dari bulu binatang; menusuk diri dengan paku tajam; melumuri tubuh dengan asam untuk merusak kecantikannya; mencambuki diri pada waktu-waktu tertentu sepanjang hari dan malam; tidur di atas tempat tidur dari pecahan genting dan kaca tajam. Pada usia lima tahun dia berkaul tidak akan menikah dan memegang janji itu seumur hidupnya. Gaya hidup selibat, puasa, pantang, meditasi, dan menyiksa diri yang dijalani Santa Rosa merupakan laku yang cukup lazim di masa tersebut. Inilah cara meneladani penderitaan Yesus dan bentuk "pengorbanan" untuk menebus dosa manusia

Ada dua puisi yang memakai judul Santa Rosa.

Santa Rosa 1

kepada suami masa silamku, tak kutuliskan silsilah.
kitab tua di perpustakaan hatiku yang hanya mencatat
sejumput kisah kekalahan yang menyedihkan.
segerombolan serdadu berbaris bagai kanakkanak.
pulang menuju rumahrumah siput di punggung kerang.
menghabiskan sisa harapan yang remang, di antara
gigigigi hiu retak

kepada para kekasihku, aku mencari tubuh yang cemas
dalam ruang kembara para pembakar. mereka berikan
onggokanonggokan benda daur ulang. dengan mesin
pengatur suhu yang sempurna. kunikmati kehangatan
sunyi dalam sedetik puncak hausku yang panjang.
menuju kesiasiaan yang gila. aku tinggal teramat lama!

aku ingin mendaki dan tinggal di puncak himalaya.
agar dingin dan beku nafasku. lalu meledak dan
mengalirkan bencana.

tapi aku letih bermimpi.
rumah ini sempit dan kotor.
jika pun harapan itu tiba,
ia hanyalah segumpal waktu yang siasia.

Ninomaru Shogun Palace, 2001


Puisi ini pesimis, mengutuki suami masa silam dengan kisah kekalahan yang menyedihkan. Meskipun masih menampilkan bentuk pencarian pada tubuh kekasih pada bait kedua, tapi ditutupnya bait itu dengan menuju kesiasiaan yang gila. aku tinggal teramat lama!


Santa Rosa 2

kutulis sajak cinta
matahari berkumur uap telaga
bidadari itu yang meniti lengkung bianglala
lewat gorden jendela rumah tua yang compang
menuju padamu.

kuhitung debu usiaku
setua inikah kebosanan?

para perompak dan pencari harta karun
merampas perahumu.
matahari jauh dan menggantung
tidak dalam peta.
kita buat telur ubur-ubur, agar menetas
jadi onta. lautan berubah padangpasir.
karangkarang menjadi kubur rajaraja
dalam piramid menjulang
menyaksikan perjalanan tua kita yang
ringkih dan sengsara.

wahai pelacur jantanku
hisap putingku dengan seluruh resahmu
tikam vaginaku dengan seluruh rencana ajalmu
kukalungkan sanca penjaga dan kelabang
pelumpuh bagimu. sambil kunikmati waktu
yang membeku. jerit kijang di nafas
lapar leopard jantan
untuk menuntaskan luka kecilku
yang membara.

tikam aku berulang!

Hamburg, 2002


Masih ada pesimisme dalam puisi kedua ini: menyaksikan perjalanan tua kita yang ringkih dan sengsara. Dan di puisi ini unsur masokhisme sangat kuat di dua bait terakhir.






Masokhisme & Religi

Pada masanya, laku Santa Rosa belum dimengerti. Setelah meninggal, tubuh dan kehidupannya menjadi bahan penelitian hingga akhirnya diputuskan dia mengalami banyak peristiwa gaib. Bahkan dipercaya Rosa menjadi mempelai Yesus di akhir hidupnya.

Seiring perkembangan ilmu psikologi, laku Santa Rosa bisa dikategorikan sebagai masokhisme. Masokhisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kekejaman atau kekerasan yang memberikan kepuasan seksual pada yang menerimanya (bentuk kelainan seksual). Sebagai istilah psikologis, masokhisme bermakna kenikmatan seksual melalui rasa sakit fisik; penyimpangan perilaku seksual.

Masokhis bertujuan untuk kepuasan diri secara seksual. Agak sulit untuk mengaitkan laku demikian dengan sesuatu yang bersifat religi. Namun, laku masokhis kerap dipilih sebagai jalan penyucian diri di masa itu.  Yesus yang wafat akibat disiksa, menginspirasi banyak pengikutnya untuk melakukan hal yang sama.

Dalam buku Teori Kepribadian & Terapi Psikoanalitik Freud (Yustinus Semiun, OFM, Penerbit Kanisius, 2006, halaman 83), masokhisme, seperti sadisme, disebut sebagai suatu kebutuhan umum. Dikatakan masokhisme akan menjadi perbuatan tidak wajar bila Eros tunduk kepada insting destruktif. Orang-orang yang masokhis mengalami kenikmatan seksual dengan menderita rasa sakit dan memberikan penghinaan baik oleh diri mereka sendiri maupun oleh orang-orang lain.

Ditambahkan di halaman yang sama, para masokhis dapat memberikan rasa sakit kepada diri mereka sendiri. Ini membuat mereka tidak tergantung pada orang-orang lain untuk memuaskan kebutuhan masokhistik. Sebaliknya, para sadis harus mencari dan menemukan orang lain untuk disakiti dan dihina. Sadisme dan masokhisme dilihat sebagai dasar untuk teori dua insting. Keduanya memperlihatkan cara kerja gabungan dari insting seksual dan insting destruktif.

Destruktif dalam pilihan yang dilakukan Santa Rosa adalah penyangkalan diri, menghancurkan diri sebagai bentuk persembahan terakhir untuk menebus dosa manusia. Dalam puisi berikut tampak jelas bahwa masokhisme yang dipilih merupakan jalan menuju keabadian.


Nikah Maria

tubuhku masih kusisakan bagi seratus peziarah.
satwasatwa berlari melawan mata angin.
serangga mendengung dan menggeriap di pusarnya.
tumbuhan mati dan hangus. tak ada lagi
upacara penebusan itu.

yesus menyalibku di golgota tua
dan mengubur hatiku di tanah kana'an.
nafsuku padam di sodom dan goora.
cintaku terinjak ribuan musafir di gurun gobi.

santa maria, dekaplah tubuh yang mendidih ini.
jilat dan gigitlah seperti kembara yang haus.
jelajahi tanpa sisa. kulumuri tubuhku
dengan anggur dan darah
bagi dosa yang sesungguhnya.
lalu, kukecup liang vaginamu yang perawan.
satu dengusan saja.

tapi, jangan biarkan jiwaku tua dan padam!

santa maria bunda allah yang suci.
kubur tubuhku dalam segala ketaksadaran hidup.
agar puisi cintaku legam dan abadi.

Bonn, 2002



Namun, tidak semua puisi Rosa, si penyair menggunakan narasi Katolik. Ada pula narasi-narasi lain dengan nada yang sama pesimistisnya dalam perbincangan mengenai makna kesucian. Misalnya dalam puisi Elegi Sinta berikut yang berangkat dari kisah Ramayana dari tradisi agama Hindu dan Budha.



Elegi Sinta

aku sinta yang urung membakar diri
demi darah suci
bagi lelaki paling pengecut bernama rama.
lalu aku basuh tubuhku, dengan darah hitam
agar hangat gelora cintaku.
tumbuh di padang pendakian yang paling hina.

kuburu rahwana,
dan kuminta ia menyetubuhi nafasku
menuju kehampaan langit.
kubiarkan terbang, agar tangan yang 
takut dan kalah itu tak mampu menggapaiku.

siapa bilang cintaku putih? mungkin abu,
atau bahkan segelap hidupku.
tapi dengarlah ringkikku yang indah
menggosongkan segala yang keramat dan abadi.

kuraih hidupku, tidak dalam api
--rumah bagi para pendosa
tapi dalam kesunyian yang sia-sia dan papa
agar sejarahku terpisah dari para penakut
dan pendusta. rama...

Prambanan, 2002


Pertama kali membaca puisi ini belasan tahun lalu. Hingga kini, kata-kata "Elegi Sinta" terus terngiang di kepala. Puisi ini begitu membekas karena memberikan alternatif pemahaman terhadap hubungan relasi Sinta, Rama, dan Rahwana. Bagaimana kalau ternyata Rama adalah penakut dan pendusta? Salahkah Sinta yang urung membakar diri, tidak peduli pada kesucian, dan mendamba gelora cinta di padang pendakian yang paling hina?

Dalam puisi ini Sinta berdaya, dia menjadi manusia yang memiliki emosi dan kekecewaan yang dalam. Dalam puisi ini perempuan bisa menemukan kembali dirinya, kembali dimanusiakan. Syaratnya dengan meninggalkan mimbar pemujaan dan menolak disucikan.


Catatan
Penutup buku ini yang ditulis Dami N. Toda sangat menarik. Berjudul "Apakah Puisi? Siapakah Penyair?", Dami menulis tentang bagaimana definisi penyair dan puisi itu tidak ada. Akan ada tulisan di blog ini dengan mengutip tulisan Dami di buku Santa Rosa ini. Ditunggu!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Joko Pinurbo dan Makna Rumah dalam Personifikasi Kulkas, Ranjang dan Celana

Rahim dan Kepahitan Perempuan dalam Patiwangi Karya Oka Rusmini

Puisi-puisi Norman Erikson Pasaribu dan Pentingnya Keragaman dalam Sastra Indonesia