Marlina: Lakon Perempuan yang Kurang Tergarap

Sumber: http://marlinathemurderer.com/gallery/

Saat menonton film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak di bioskop, saya merasa sedang berada di gedung teater, melihat lakon yang berkisah tentang keperkasaan perempuan. Gerak kamera statis, latar alam memukau, editing monoton, dan alur yang sangat linier, membuat saya menangkap kesan itu.

Saya menunggu-nunggu film ini untuk bisa ditayangkan di bioskop-bioskop Indonesia. Marlina merupakan film hasil kerjasama dengan Yayasan Cinemas du Monde, Kementrian Komunikasi dan Kebudayaan, dan Kementrian Luar Negeri Perancis serta beberapa negara (Perancis, Malaysia, Singapura, dan Thailand). Sebelum resmi tayang di Indonesia, film dengan  dengan judul internasional Marlina the Murderer in Four Acts ini wara-wiri di sejumlah festival film internasional, seperti Festival Film Cannes, New Zealand International Film Festival, Melbourne Film Festival, dan Toronto International Film Festival.

Membaca berita-berita itu membuat saya memiliki ekspektasi yang tinggi akan film ini. Saat menontonnya saya terhibur secara visual. Saya pun senang melihat tokoh utama perempuan yang begitu perkasa dan mampu menularkan semangat kesetaraan. Namun, seperti ada yang kurang. Tidak mudah untuk mencari kekurangan dari suatu hal yang disuka. Saya memerlukan waktu lama hingga akhirnya menemukan dan bisa menuliskan ulasan ini.

Kesan sepeti menonton lakon di panggung teater memang sudah terasa sejak awal. Marlina yang diperankan Marsha Timothy bergerak dari satu sisi layar ke sisi lain seperti di atas panggung. Seperti yang dikatakan Mouly Surya, sang sutradara dalam sebuah wawancara, film ini memang direncanakan memiliki gerak kamera minimum. Saat eksekusi, diputuskan untuk sama sekali tidak ada gerak kamera.

Sumber: http://marlinathemurderer.com/gallery/


Teknik ini sebenarnya tidak masalah, tapi Marsha jadi tampak sekali sedang berakting di atas panggung. Sosoknya tampil mencuat dari latar budaya Sumba di belakangnya, tidak membaur. Saya merasa kesulitan untuk percaya atau memiliki ikatan emosi dengan tokoh Marlina. Penyebabnya karena sosok Marsha sangat menonjol dan tidak seperti pada tempatnya.

Bila itu sebuah kesengajaan, sangat disayangkan. Karena medium film itu harusnya tidak seperti lakon teater. Dengan mudah sutradara bisa menyelipkan penggalan kisah masa lalu Marlina supaya keperkasaannya lebih sahih, beralasan, dan membekas dengan lebih kuat. Karena tidak ada latar belakangnya, semua terasa tiba-tiba. Tiba-tiba datang perampok, tiba-tiba Merlina jadi perempuan perkasa, tiba-tiba harus menempuh perjalanan mencari keadilan, tiba-tiba temannya diculik, dan tiba-tiba temannya juga menjadi pahlawan, dan tiba-tiba film selesai.

Marlina ditampilkan langsung dalam situasi yang luar biasa dalam kehidupan seorang perempuan: dirampok, lalu diperkosa. Bagaimana kesehariannya? Penonton tidak tahu. Benarkah dia perkasa? Saya mengharapkan potongan gambar Marlina mengurus ternaknya, kesibukannya karena semua harus diurusi sendiri. Saya ingin melihat keseharian Marlina, sebelum dia diperkosa, agar kontras dan tragisnya kehidupan dia setelah kedatangan para perampok lebih terasa. Agar penonton bisa ikut merasakan ikatan emosi dengannya.


Sumber: http://marlinathemurderer.com/gallery/


Keindahan Sumba

Saya membaca beberapa komentar yang mengatakan film ini bukan hanya tentang keindahan alam Sumba. Memang bukan, tapi keindahan alam dan adat Sumba dalam film ini seperti tempelan saja, tidak menyatu dengan unsur lain di dalam film. Amat disayangkan. Padahal, masih dalam wawancara yang sama, Mouly menyebutkan kalau ide cerita yang datang dari Garin Nugroho, berdasarkan ketertarikan sutradara kawakan itu pada perempuan Sumba.

Seandainya para pemain bisa belajar lebih lama tentang dialeknya, dan penulis naskah serta sutradara melakukan riset yang lebih dalam tentang masyarakat Sumba, mungkin Marlina akan lebih adil dalam menampilkan adat setempat. Bukan sate ayam yang akan jadi menu andalan di warung dekat kantor polisi; bukan logat orang Korea yang terdengar di kuping; dan bukan musik koboi yang terngiang-ngiang terus sepanjang film. Protes dari masyarakat Sumba pun akan berkurang.

Iya, memang katanya ini film bergenre koboi, atau yang oleh kritikus film Maggie Lee disebut sebagai Satay Western dalam ulasannya di majalah Variety. Genre ini menjadi nilai plus dari film yang berhasil gentayangan di berbagai film internasional dan mendapat banyak pujian. Mereka bisa merasakan kedekatannya, tapi oleh penonton di negeri sendiri jadi terasa asing.


Sumber: http://marlinathemurderer.com/gallery/


Kemenangan Perempuan

Meskipun secara teknis masih banyak yang bisa diperbaiki, tapi film ini menularkan energi yang besar bagi perempuan. Keberanian Mouly Surya untuk menampilkan tokoh jagoan perempuan, harusnya diimbangi dengan keberanian pemilihan aktor dengan kemampuan akting yang besar juga.

Kalau berbicara tentang aktor yang itu-itu saja, pasti alasannya karena tidak ada yang lain. Saya kok curiga kalau sebenarnya bukan tidak ada yang lain, tapi tidak mau cari yang lain. Sesulit itukah proses casting di Indonesia? Seburu-buru itukah produksi film sehingga tidak mau meluangkan waktu lebih lama untuk mencari aktor yang tepat untuk sebuah peran?

Akting Marsha terasa kurang karena lawan mainnya Dea Panendra yang berperan sebagai Novi, perempuan hamil, lebih meyakinkan. Dari sosok Novi saya bisa lebih banyak mendapat gambaran adat Sumba. Perempuan Sumba yang bisa menginspirasi dengan kekuatannya adalah Novi. Dari tokoh ini, saya yang awalnya merasa ada jarak dengan kisah yang ditampilkan di layar, jadi merasa lebih dekat. Sementara, dari sosok Marlina saya seperti mendengarkan dongeng tentang kesatria perempuan dari negeri antah berantah.

Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak merupakan film ketiga Mouly. Angka ini cukup menjanjikan, perjalanan masih panjang. Saya tidak sabar melihat film-film dari sutradara perempuan ini selanjutnya yang pasti akan lebih berkualitas dan membawa warna baru dalam dunia perfilman Indonesia.

Komentar

  1. tulisan yang bagus. Saya setuju, awal dari adegan Marlina justru mengingatkan saya pada film 'Kill Bill' atau film2 Jepang yg sudah saya lupakan namanya. Teatrikal. Tapi mungkin karena beberapa film yg saya tonton sebelumnya sangat comical dan 'kekinian', jadi ada rasa rindu untuk menonton film yg 'sangat antah berantah' ini.
    Secara tidak sengaja, saya memposisikan diri saya sebagai Marlina yang sedang sedih, bingung, dan 'tidak berada di tempatnya'. Saya tidak merasa Marlina benar2 seorang jagoan, saya justru merasa dia ada di situasi depresi dan hilang arah. Yang membuat pikirannya kembali adalah ia setelah berbicara dengan anak perempuan itu dan menelepon Novi.
    Tapi saya setuju, krn juga ada teman yg berkata, "bagus, tapi rasanya kurang panjang." mungkin yang ia maksud, kurang cerita. Kurang kisah yg bisa membuat seseorang segera memahami posisi seorang Marlina, yg apakah dia ada di tempat antah berantah atau di Sumba.

    BalasHapus
  2. Yap inilah yang juga membuka mata saya. Kekurangan tentang latar belakang Marlina yang tak terjelaskan.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Joko Pinurbo dan Makna Rumah dalam Personifikasi Kulkas, Ranjang dan Celana

Rahim dan Kepahitan Perempuan dalam Patiwangi Karya Oka Rusmini

Puisi-puisi Norman Erikson Pasaribu dan Pentingnya Keragaman dalam Sastra Indonesia