Masih Adakah Otoritas Tubuh Manusia?


Perang apa yang sudah berlangsung ribuan tahun dan belum bisa berakhir hingga kini? Hampir semua orang pernah mengalami perang ini. Perang memperebutkan otoritas tubuhnya sendiri.

Bila perang yang Anda alami terasa lebih hebat, kemungkinan besar Anda seorang perempuan. Sebagai perempuan saya mengakui asumsi tersebut. Namun, isu tentang rokok yang beredar belakangan membuat saya berfikir, mungkin laki-laki pun mulai kehilangan otoritas akan tubuh.

Apa hubungan rokok yang terus mengalami kenaikan harga dan otoritas tubuh? Jika Anda perokok pasti merasa kalau kegiatan mengepulkan asap tembakau ini sebenarnya personal. Meskipun ada istilah social smoker bagi mereka yang mengandalkan rokok untuk meningkatkan percaya diri atau melancarkan obrolan saat bersosialisasi.

Bukan karena saya pernah jadi perokok, lantas saya membela mereka yang kebetulan mayoritas laki-laki ini. Ini bukan masalah rokok yang merugikan kesehatan konsumen dan mereka yang terkena asapnya. Ini masalah otoritas tubuh manusia.

Larangan merokok di tempat-tempat tertentu itu oke untuk melindungi para passive smokers. Lain halnya dengan kebijakan dan pemaksaan dari orang-orang dengan otoritas tertentu tentang rokok yang akhirnya membuat seorang manusia kehilangan pilihan dan otoritas akan tubuh. Sepertinya edukasi dan kampanye tentang bahaya rokok sudah cukup, tidak perlu dengan menambahkan cap-cap negatif pada perokok. Mereka butuh bantuan bukan hinaan.

Coba kalau kita membandingkan dengan masalah berat badan. Sekarang sudah banyak batasan dalam mengkampanyekan produk atau layanan penurunan berat badan. Memang tidak seketat batasan-batasan dalam kampanye rokok, tapi sudah ada larangan pemasangan foto before-after di iklan sebuah sosial media nomer satu di dunia.

Untuk industri ini sudah ada kesadaran, bahwa memberikan tekanan pada orang untuk memiliki tubuh ideal hanya akan membuat mereka semakin jauh dari kata sehat. Kenapa turun berat malah jadi tidak sehat, karena tekanan untuk kurus membuat seseorang tidak ragu lagi memilih cara-cara instan yang membahayakan kesehatan.

Dalam kata lain, tekanan berkedok kesehatan dan penilaian negatif pada perokok atau orang dengan obesitas itu tidak menyelesaikan masalah. Demikian juga dengan restriksi dari pemerintah yang berlebihan. Yang dibutuhkan adalah pengendalian distribusi, edukasi, dan kebijakan yang tidak cari gampang dengan mengurangi otoritas seseorang akan tubuhnya. Karena dengan edukasi, orang akan memiliki pilihan. Adanya pilihan membuat orang merasa mampu mengendalikan dirinya sendiri.

Tahu akan adanya pilihan-pilihan inilah yang akan melatih kontrol diri kita. Laki-laki yang tahu kejantanan dan percaya diri itu bukan dari rokok, tentu tidak akan merasa "harus" merokok untuk  bisa diterima di lingkungannya. Sama dengan pengetahuan kalau langsing itu tidak selalu sehat. Kita jadi tahu bahwa ada pilihan lain untuk sehat dan bukan selalu harus kurus.

Mengetahui pilihan dan merasa memiliki otoritas akan tubuh menjadi dua unsur penting jika ingin membentuk pribadi dengan kontrol diri yang kuat. Orang dengan kontrol diri kuat, tentunya bisa mengendalikan dan mengatur kebutuhan diri, kapan harus makan, kapan bisa merokok. Bukan sebaliknya, hidupnya dikontrol rokok atau makanan.

Bicara tentang makanan, ini kecanduan yang lebih mematikan dibanding rokok lho. Coba cek lagi statistiknya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Joko Pinurbo dan Makna Rumah dalam Personifikasi Kulkas, Ranjang dan Celana

Rahim dan Kepahitan Perempuan dalam Patiwangi Karya Oka Rusmini

Puisi-puisi Norman Erikson Pasaribu dan Pentingnya Keragaman dalam Sastra Indonesia