memperjuangkan hak

hari ini seorang teman karib dipecat dari perusahaan media tempatnya bekerja. dia dipecat bersama belasan temannya yang kebetulan menjadi pengurus atau ikut mendirikan serikat pekerja. kebetulan yang tentunya sangat bisa diduga sebagai hubungan sebab akibat.

peristiwa ini semakin menambah kebencian saya pada perusahaan media. sepengamatan saya, perusahaan media lebih kejam pada serikat pekerja. karyawan dilarang mendirikan serikat pekerja, bila pun ada ketuanya suatu saat pasti dipecat. jumlah perusahaan media yang memiliki serikat pekerja juga bisa dihitung dengan jari. wartawan pun banyak yang abai. mereka tidak tahu pentingnya serikat pekerja. bagi mereka perjuangan hak itu sifatnya individual. saya curiga, jangan-jangan para buruh itu lebih paham undang-undang tanaga kerja, dibandingkan para wartawan yang katanya lebih berpendidikan itu.

buruh bisa menuntut kenaikan upah agar sesuai standar minimun daerah. wartawan? masih banyak yang diam-diam saja punya upah di bawah u.m.r. buruh datang dan pulang tepat waktu, saat lembur mereka dibayar ekstra. wartawan? katanya sih jam kerja fleksibel, tapi nyatanya selalu bekerja lebih dari 20 jam seminggu. kadang tanpa libur, dan tetap tidak sadar kalau ini sebenarnya tidak adil dan tidak sesuai u.u.

kenapa wartawan diam saja? katanya sih karena pekerjaan ini membutuhkan "panggilan" khusus. bagi yang terpanggil menjadi wartawan, mereka harus rela dan iklas meluangkan waktu ekstra, dibayar dengan upah murah, demi menyebarkan informasi yang berguna bagi masyarakat, demi menjadi salah satu pilar demokrasi bangsa... dan demi demi lain yang sifatnya "mulia". 

siapa sih yang membuat jargon menyesatkan ini? siapa sih yang melestarikan jargon yang membuat perusahaan media bisa dengan santai melanggar banyak pasal undang undang tenaga kerja? ya, siapa lagi kalau bukan wartawan senior yang kemudian punya perusahaan media.

saya melihat sendiri kok bagaimana seorang wartawan idealis berubah menjadi makelar kasus setelah dia mendirikan medianya sendiri. saya mengalami sendiri perlakukan semena-mena wartawan senior nan arogan yang bisa berbusa menanamkan jargon, tapi lepas tangan saat melihat ketidak adilan yang dialami rekan seprofesinya.

hai wartawan, sudahlah lupakan jargon itu. bekerjalah profesional. terimalah upah sesuai pekerjaan dan jabatan. tuntutlah hak kalian dan hiduplah tenang dengan upah yang memadai, bukan dari uang tambahan hasil amplop dan transferan sana-sini.


catatan tambahan:
fakta ini yang membuat saya bisa bersimpati pada orang-orang yang memperjuangkan haknya, mereka yang berdemo turun ke jalan. mau rusuh, mau bikin macet, itu hanya efek samping yang seharusnya bisa kita mengerti. 

dan o iya, kamu yang bilang, "mahasiswa mending belajar yang bener, ngapain sih pake demo segala." saya ingin bertanya: ada tidak dalam catatan sejarah, seorang mahasiswa yang hanya dengan belajar bisa mengubah sistem negara yang kacau ini? kalau sistemnya yang ngaco, mau seberapa keras kita bekerja atau belajar tidak akan ada perubahan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Joko Pinurbo dan Makna Rumah dalam Personifikasi Kulkas, Ranjang dan Celana

Rahim dan Kepahitan Perempuan dalam Patiwangi Karya Oka Rusmini

Puisi-puisi Norman Erikson Pasaribu dan Pentingnya Keragaman dalam Sastra Indonesia