p.h.k



pemutusan hubungan kerja. tiga kata ini kembali akrab di telinga saya di akhir tahun dua ribu dua belas kemarin. seperti pengulangan akhir tahun dua ribu enam, saat kata p.h.k terus mengiang-ngiang lama di kepala, menyesak di dada, dan mengosongkan isi kantong.

dua ribu enam, enam tahun lalu saya yang mengalami p.h.k. sebenarnya tidak bisa juga disebut p.h.k karena status masih kontrak. status ini membuat proses berhentinya saya sebagai jurnalis di sebuah perusahaan media raksasa menjadi lebih mengenaskan. hari itu dipanggil, hari itu juga saya diberhentikan kontraknya. kontrak yang baru berlangsung setengah jalan. 

dua ribu dua belas lalu saya "lolos" dari situasi yang bisa jadi akan sama. pemutusan kontrak mendadak, tanpa basa-basi, apalagi pesangon. saya lolos karena mereka kalah cepat. saya keburu mengundurkan diri, sebelum kontrak berakhir. saya beruntung karena penghasilan bulanan tidak perlu terputus untuk beberapa bulan seperti di tahun dua ribu enam.

saya lolos, tapi banyak orang di sekitar saya yang akhirnya harus mengalami p.h.k dengan atau tanpa pesangon, dengan atau tanpa kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak, dengan atau tanpa tuntutan hukum. dan, semua yang tidak lolos itu kebetulan berasal dari perusahaan media. salah satu faktor yang membuat saya akhirnya meninggalkan profesi sebagai jurnalis.

masih tentang perbandingan dua ribu enam dan dua ribu dua belas. setelah pihak h.r.d menjatuhkan vonis p.h.k enam tahun lalu, hal pertama yang saya lakukan adalah memberitahu teman satu angkatan dan satu kantor. setelah itu orangtua, setelah itu sahabat, lalu tidak lama kemudian semua orang tahu tentang kabar p.h.k saya.

bagi saya p.h.k itu bukan aib. tidak perlu saya malu lalu urung menceritakannya ke orang-orang terdekat. saya meyakini itu karena tidak ada s.p satu, s.p dua, s.p tiga yang mendahului pemutusan hubungan kerja kami. pun secara lisan tidak ada teguran berkaitan dengan kinerja dan profesionalitas saya. artinya, saya tidak melakukan kesalahan. alasan "karakter yang tidak sesuai dengan kepribadian *o*p*s" pun bagi saya hanya mengada-ada 

iya, memang ada rasa bersalah kepada orangtua yang sepertinya sudah sangat bangga saya bisa bekerja di media besar itu. iya, saya juga sedikit menyesali kekerasan hati dan kelonggaran mulut yang senang protes serta berkomentar sinis pada keanehan proses pelatihan atau budaya kerja mereka. namun, saya segera sadar dan melimpahkan kesalahan pada s.d.m yang mudah disetir, diklat yang tunduk pada mentor, dan senior yang gila hormat sehingga menganggap saya anak kencur yang kurang ajar.

jadi, saya tidak malu menikmati masa santai beberapa bulan sambil mencari kerja. tidak malu menadahkan tangan pada orangtua karena tidak ada lagi penghasilan. saya pun tidak malu-malu menceritakan kisah ini berulang kali. 

komentar "kamu kan nggak ngapa-ngapain," "emang kamu masih kerja?" atau "hari ini kamu ngapain?" tidak membuat emosi saya tersulut. tawaran pekerjaan dari kanan kiri saya coba semua. gosip yang beredar mengikuti pemutusan kontrak pun saya telan bulat-bulat saja. meskipun cukup lama menunggu, saya yakin pekerjaan yang lebih baik akan datang. saya selalu berhasil menyingkirkan pikiran negatif di otak. saya juga bisa tetap tampil percaya diri di hadapan calon atasan saat wawancara. p.h.k tidak bisa menghilangkan rasa percaya diri saya.

banyak cerita keberhasilan yang berawal dari p.h.k. lalu kenapa malu? jaman sekarang p.h.k itu bukan akhir dunia, tapi awal baru yang membuka lebih banyak pintu kesempatan. jarang sekali p.h.k yang terkait dengan ketidakmampuan seseorang atau ketidakprofesionalannya. p.h.k itu untung-rugi. p.h.k itu suka atau tidak suka. p.h.k itu bisa atau tidak menjilat. p.h.k itu subyektif. p.h.k itu biasa.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Joko Pinurbo dan Makna Rumah dalam Personifikasi Kulkas, Ranjang dan Celana

Rahim dan Kepahitan Perempuan dalam Patiwangi Karya Oka Rusmini

Puisi-puisi Norman Erikson Pasaribu dan Pentingnya Keragaman dalam Sastra Indonesia